Senin, 24 Mei 2010

haa iki Aku Mata Hari 16

Sabtu, 22 Mei 2010 | 05:15 WIB
Aku Mata Hari 16
Remy Sylado

Untuk hal khas menyangkut cara lafal, aku menyukai sandangan nama-nama Inggris bagi anakku itu. Norman dalam bahasa Inggris mengingatkan pada sebutan bangsa Skandinavia yang menaklukkan Normandia pada abad ke-10 dan keturunannya menaklukkan Inggris pada tahun 1066. Sedangkan nama John adalah sebutan Inggris untuk murid kesayangan Yesus, atau Johannes dalam sebutan Belanda, Jean dalam sebutan Prancis, Juan dalam sebutan Spanyol, Giovanni dalam sebutan Italia, dan Yahya dalam sebutan Arab.
Mestinya sebagai perempuan, aku bangga bisa melahirkan dengan selamat. Dengan bisa melahirkan, maka aku merasa telah sampai pada ancangan perdana dari naluri keinsanian wanita, yaitu menjadi ibu dan menyusui anak.
Namun, di saat bangga, tak urung aku tawarhati juga. Ada bisik-bisik orang yang sampai pula di telingaku, bahwa anakku lahir tidak sehat, dibayang-bayangi jejak kelakuan ayah anak itu yang nakal.
Untuk sementara aku tidak peduli pada bisik-bisik itu. Toh aku pun tidak melihat hal menyolok yang membedakan anakku dengan anak-anak manusia umumnya: wajahnya terdiri dari mata, hidung, mulut, telinga, lalu jari tangan dan kakinya lima bukan enam, dan seterusnya.
Entah besok-lusa di negeri yang mataharinya selalu muncul sepanjang tahun membakar bumi, Indonesia, mungkin ada seseorang yang mukhlis berkata kepadaku tentang kesehatan anakku itu.
Aku senang sekali akan segera berangkat ke Indonesia. Sudah keluar besluit dari pemerintah untuk penugasan Ruud ke Indonesia. Dia ditugaskan bukan di Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah, ditempatkan di Ambarawa.
Aku bilang senang bisa ke Indonesia, ke daerah pusat tamadun Jawa, karena itulah saatnya aku akan menggali dan menemukan roh budaya moyang ibuku yang tulen, yang akan menjadi modal ilham bagi sebuah cita-cita yang tak pernah aku katakan kepada Ruud kecuali di depan patung Siwa di Rijksmuseum.
Menurut cerita orang yang pernah bertugas di Jawa Tengah, Ambarawa itu termasuk sejuk, terletak di tengah-tengah dua kota: Semarang di utara yang berpantai Laut Jawa dan Magelang di selatan yang diapit gunung-gunung Sumbing di baratnya dan Merbabu-Merapi di timurnya. Kalau orang mau ke Semarang atau Magelang, ada keretaapi yang menghubungkannya. Sepurnya bergigi di roda tengahnya antara rel kiri dan kanan. Jika menanjak ke arah Magelang, lokomotifnya tidak menarik gerbong, tapi mendorong dari belakang dengan mengandalkan gigi-gigi roda tengahnya itu.
Ke sanalah aku berangkat dengan membawa cita-cita di hati. Mudah-mudahan saja tidak melintang aral menuju ke sana. Ini semata-mata sebuah keinginan—yang lebih sederhana daripada nazar namun lebih mewah daripada akad—untuk menaruh pengharapan di hati, walau bukan pula secara resmi berarti doa, berhubung Ruud belakangan ini semakin apatis dan aku menyesuaikan diri saja.
Betapapun, dalam rasa lega, bahwa Ruud akan bertugas di negeri tropis, dan dengan kesibukan itu dia tidak akan lagi beriseng-iseng seperti di Amsterdam, susahnya ada juga perasaan ragu pada diri sendiri untuk bebas dari prasangka. Dengan demikian, aku harus mengakui kenyataan yang tak mudah tanggal dari lubuk perasaanku menyangkut peristiwa- peristiwa kecil dalam perlakuan tapi menjadi besar dalam ingatan.
Mungkin benar kata iparku, aku tidak kenal perangai suamiku, sebagaimana dia kakaknya mengenal betul sisikmelik perangai adiknya.
Sekali lagi, mudah-mudahan tidak ada aral nan melintang di jalanku selama tugas Ruud di Indonesia.
Tak ada doa khusus yang kami ucapkan sebelum kami meninggalkan Negeri Belanda menuju ke Indonesia.
Pada saat itu—sejak diresmikannya Terusan Suez tahun 1869—ke Indonesia dimulai dengan keretaapi dan dilanjutkan dengan kapal laut.
Perjalanan yang pertama, dengan keretaapi, sangat meletihkan, sebab kami tidak bisa bikin apa-apa di situ, melulu duduk manggut-manggut seperti dua ekor kucing sakit yang sedang dibawa ke dokter hewan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/22/05152085/aku.mata.hari
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar