Sabtu, 22 Mei 2010 | 05:15 WIB
Aku Mata Hari 16
Remy Sylado
Untuk hal  khas menyangkut cara lafal, aku menyukai sandangan nama-nama Inggris  bagi anakku itu. Norman dalam bahasa Inggris mengingatkan pada sebutan  bangsa Skandinavia yang menaklukkan Normandia pada abad ke-10 dan  keturunannya menaklukkan Inggris pada tahun 1066. Sedangkan nama John  adalah sebutan Inggris untuk murid kesayangan Yesus, atau Johannes dalam  sebutan Belanda, Jean dalam sebutan Prancis, Juan dalam sebutan  Spanyol, Giovanni dalam sebutan Italia, dan Yahya dalam sebutan Arab.
Mestinya sebagai perempuan, aku bangga bisa melahirkan dengan  selamat. Dengan bisa melahirkan, maka aku merasa telah sampai pada  ancangan perdana dari naluri keinsanian wanita, yaitu menjadi ibu dan  menyusui anak.
Namun, di saat bangga, tak urung aku tawarhati  juga. Ada bisik-bisik orang yang sampai pula di telingaku, bahwa anakku  lahir tidak sehat, dibayang-bayangi jejak kelakuan ayah anak itu yang  nakal.
Untuk sementara aku tidak peduli pada bisik-bisik itu. Toh  aku pun tidak melihat hal menyolok yang membedakan anakku dengan  anak-anak manusia umumnya: wajahnya terdiri dari mata, hidung, mulut,  telinga, lalu jari tangan dan kakinya lima bukan enam, dan seterusnya.
Entah besok-lusa di negeri yang mataharinya selalu muncul sepanjang  tahun membakar bumi, Indonesia, mungkin ada seseorang yang mukhlis  berkata kepadaku tentang kesehatan anakku itu.
Aku senang sekali  akan segera berangkat ke Indonesia. Sudah keluar besluit dari pemerintah  untuk penugasan Ruud ke Indonesia. Dia ditugaskan bukan di Jawa Timur,  melainkan Jawa Tengah, ditempatkan di Ambarawa.
Aku bilang senang  bisa ke Indonesia, ke daerah pusat tamadun Jawa, karena itulah saatnya  aku akan menggali dan menemukan roh budaya moyang ibuku yang tulen, yang  akan menjadi modal ilham bagi sebuah cita-cita yang tak pernah aku  katakan kepada Ruud kecuali di depan patung Siwa di Rijksmuseum.
Menurut  cerita orang yang pernah bertugas di Jawa Tengah, Ambarawa itu termasuk  sejuk, terletak di tengah-tengah dua kota: Semarang di utara yang  berpantai Laut Jawa dan Magelang di selatan yang diapit gunung-gunung  Sumbing di baratnya dan Merbabu-Merapi di timurnya. Kalau orang mau ke  Semarang atau Magelang, ada keretaapi yang menghubungkannya. Sepurnya  bergigi di roda tengahnya antara rel kiri dan kanan. Jika menanjak ke  arah Magelang, lokomotifnya tidak menarik gerbong, tapi mendorong dari  belakang dengan mengandalkan gigi-gigi roda tengahnya itu.
Ke  sanalah aku berangkat dengan membawa cita-cita di hati. Mudah-mudahan  saja tidak melintang aral menuju ke sana. Ini semata-mata sebuah  keinginan—yang lebih sederhana daripada nazar namun lebih mewah daripada  akad—untuk menaruh pengharapan di hati, walau bukan pula secara resmi  berarti doa, berhubung Ruud belakangan ini semakin apatis dan aku  menyesuaikan diri saja.
Betapapun, dalam rasa lega, bahwa Ruud  akan bertugas di negeri tropis, dan dengan kesibukan itu dia tidak akan  lagi beriseng-iseng seperti di Amsterdam, susahnya ada juga perasaan  ragu pada diri sendiri untuk bebas dari prasangka. Dengan demikian, aku  harus mengakui kenyataan yang tak mudah tanggal dari lubuk perasaanku  menyangkut peristiwa- peristiwa kecil dalam perlakuan tapi menjadi besar  dalam ingatan.
Mungkin benar kata iparku, aku tidak kenal  perangai suamiku, sebagaimana dia kakaknya mengenal betul sisikmelik  perangai adiknya.
Sekali lagi, mudah-mudahan tidak ada aral nan  melintang di jalanku selama tugas Ruud di Indonesia.
Tak ada doa  khusus yang kami ucapkan sebelum kami meninggalkan Negeri Belanda menuju  ke Indonesia.
Pada saat itu—sejak diresmikannya Terusan Suez  tahun 1869—ke Indonesia dimulai dengan keretaapi dan dilanjutkan dengan  kapal laut.
Perjalanan yang pertama, dengan keretaapi, sangat  meletihkan, sebab kami tidak bisa bikin apa-apa di situ, melulu duduk  manggut-manggut seperti dua ekor kucing sakit yang sedang dibawa ke  dokter hewan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/22/05152085/aku.mata.hari   
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar