Selasa, 11 Mei 2010

haa iki tulisane pak Sukardi Rinakit

ANALISIS POLITIK
Tidak Tega "Patine"
Selasa, 11 Mei 2010 | 03:35 WIB
OLEH SUKARDI RINAKIT


Ketika Franky Sahilatua dan Garin Nugroho membuat Dongeng Pengadilan Politik Jeng Sri, yang beritanya dimuat Kompas (1/5), banyak teman marah kepada saya. Mereka berkeyakinan, jika ada Franky dan Garin, pasti ada Kardi. Mereka protes, mengapa kami lompat pagar dan membela Sri Mulyani Indrawati?
Malam itu penulis tidak hadir pada acara tersebut karena ada urusan keluarga. Selain itu, sejujurnya, juga karena keraguan hati mengingat acara tersebut tanpa agenda. Apalagi akhir-akhir ini, saya sudah merasa lelah dengan hiruk pikuk politik yang tak habis-habisnya. Oleh sebab itu, mengikuti nasihat Emak di kampung, penulis tidak mau memperkeruh keadaan, apalagi memicu kontroversi baru.
Namun, karakter bangsa ini memang istimewa. Ketika Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengumumkan pengunduran dirinya sebagai menteri keuangan, teman-teman yang sama, yang semula marah, banyak yang berubah sikap. Tiba-tiba mereka mengatakan, terlepas dari keterlibatan SMI dalam kasus Bank Century, dia adalah sosok yang tegas, gigih, dan berani mengambil terobosan dalam reformasi birokrasi. Mereka juga menduga ada ketidakberesan dalam pengunduran diri SMI.

Obsesi stabilitas

Fenomena perubahan sikap teman-teman tersebut, dalam perspektif budaya politik, bisa dirujuk pada karakter bangsa Indonesia yang ternyata masih memegang prinsip tega larane, ora tega patine (tega sakitnya, tetapi tidak tega meninggalnya). Mereka memang marah kepada SMI dan ingin seluruh pengadilan politik dan hukum ditegakkan, tetapi mereka tidak tega jika ia dikorbankan.
Secara politik, argumen yang paling masuk akal menyangkut pengunduran diri SMI, dan keputusannya yang cepat menerima tawaran menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, berkaitan dengan ”ritual politik pengorbanan”. Tujuannya adalah demi tercapainya stabilitas politik nasional. Di sini, mengadaptasi pemikiran David Lake (1983), transaksi politik antara penguasa utama dan para pendukungnya terjadi. Atas nama stabilitas politik dan kelangsungan kekuasaan, ada aktor yang harus dikorbankan.
Sejak Reformasi sampai hari ini, politik kita memang cenderung gaduh. Akibatnya, program pembangunan bergerak lambat, jika tidak boleh disebut stagnan, di tengah tekanan krisis global dan belitan birokrasi nasional yang korup. Situasi itu membuncahkan kembali obsesi akan stabilitas politik seperti pada era Orde Baru. Jalan trilogi pembangunan (stabilitas politik, pertumbuhan, dan pemerataan) yang semula dikritisi, diam-diam mulai diamini kembali kebenarannya.
Jika melihat perkembangan akhir-akhir ini, tampaknya kebutuhan akan terciptanya stabilitas politik semakin mendesak. Alasan utamanya, karena roda perekonomian mulai berputar. Arus investasi, ekspor, dan pariwisata, misalnya, mulai menggeliat dinamis. Pemerintah tentu ingin mendorong momentum ini agar semakin melaju. Salah satu caranya adalah meminimalkan hambatan, khususnya yang berasal dari ranah politik.
Bagi partai-partai politik koalisi, obsesi pemerintah akan stabilitas politik merupakan salah satu arena pertempuran untuk mencapai kesepakatan politik dengan Presiden. Dalam konteks ini, tidak tertutup kemungkinan SMI menjadi korban dari praktik politik kontestasi lunak di dalam rumah koalisi itu. Selain menjadi sumber kontroversi politik sehubungan dengan kasus Bank Century, ia juga mengusik kepentingan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Misalnya, mempersoalkan pembayaran pajak salah satu perusahaan dalam kelompok Bakrie. Oleh sebab itu, ia harus menyingkir dari arena kekuasaan.
Dugaan bahwa SMI hanya menjadi korban transaksi politik demi obsesi stabilitas politik menjadi semakin kental ketika Presiden membentuk sekretariat bersama partai-partai koalisi segera setelah SMI mengundurkan diri. Di institusi ini, Aburizal Bakrie duduk sebagai ketua harian. Fakta ini memperlemah resultan bantahan Bakrie bahwa tidak ada kesepakatan politik antara dirinya dan Presiden kecuali memastikan pemerintahan akan aman sampai tahun 2014. Dalam politik praktis, biasanya hampir mustahil ada ”makan siang gratis”.

Memicu ingatan

Dalam konstruksi obsesi stabilitas politik tersebut, mundurnya SMI dipandang sebagai win-win solution. Suhu politik diperkirakan akan mendingin dan kontestasi lunak antara Presiden dan partai koalisi juga mereda. Dengan medan politik yang mendatar tersebut, roda ekonomi diharapkan akan melaju kencang.
Bagi penulis, mundurnya SMI memicu ingatan menjelang pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II. Waktu itu, berkali-kali penulis menyatakan di media massa bahwa, terlepas dari paradigma ekonomi yang dianut, Republik sebenarnya hanya butuh empat menteri. Mereka adalah Djoko Suyanto (Menko Polhukam), Marty Natalegawa (Menlu), Sri Mulyani (Menkeu), dan Mari Pangestu (Mendag). Mereka bisa membawa Indonesia melangkah optimistis ke depan. Adapun menteri lainnya silakan tidur saja juga tidak apa-apa.
Kini satu pilar itu tidak ada. Saya tidak tahu lagi apa argumen tersebut masih berlaku. Ketika hal tersebut saya sampaikan kepada seorang teman, dia tertawa. Baginya, karakter penulis tidak beda dengan teman-teman lain dan bangsa Indonesia pada umumnya. Hanya tega kepada seseorang sejauh ia hanya sakit, tetapi tidak tega jika ia harus meninggal, apalagi kalau karena dikorbankan. Tega larane ora tega patine.
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/11/03354265/tidak.tega.patine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar