Rabu, 19 Mei 2010

haa iki Mata Hari 13

AKU MATA HARI
Rabu, 19 Mei 2010 | 05:47 WIB

Remy Sylado

Selain itu, agaknya perubahan sikapnya yang begini cepat ini, sangat ditentukan pula oleh peran saudara perempuannya yang sangat mempedulikan aku.
Aku semakin percaya pada perasaan ini, sebab nanti pada suatu sore di bulan ketiga kehamilanku, ketika aku baru saja tiba di rumah dari belanja di pusat pertokoan Kalverstraat, di balik pintu aku dengar iparku itu berkata kepada Ruud:
”Kamu harus bersyukur kepada Tuhan, bisa mendapat istri cantik seperti Margaretha. Jangan menuntut terlalu banyak darinya. Masih bagus lelaki seumur kamu mendapat istri perempuan seumur dia.”
”Aku cuma tanya siapa lelaki yang sudah mendahului aku.”
”Itu egois.”
”Kenapa?”
”Dia kan tidak bertanya padamu, berapa belas perempuan yang sudah kamu perkosa sejak kamu jadi tentara, dan berapa puluh pelacur Zeedijk) yang sudah berzina dengan kamu selama ini.”
”Ah! Bagaimanapun aku kecewa.”
Karuan aku menghormati kakaknya itu. Dia sangat berperhatian padaku. Dia bahkan telah menjadi seperti seorang ibu kepada anaknya.
Beberapa kali, pada pagi hari dia menemani aku berjalan ke Dam, sambil membawa roti untuk burung-burung camar. Dia menuntun aku berputar di alun- alun Dam—depan istana kerajaan tempat monarki Belanda dimahkotakan—untuk melatih badanku bergerak-gerak di sini, layaknya olahraga ringan, supaya tidak menyulitkan keadaan tubuhku di hari persalinanku nanti. Kemudian, jika aku letih, dia pegang tanganku, berdiri di tempat, mengambil nafas, menengadah ke langit. Burung-burung camar berputar-putar di atas kepalaku, mengharapkan roti yang bisa aku alungkan kepada mereka, lantas dengan sigap mereka berebutan menangkapnya.
Suatu pagi, tumben di alun- alun Dam ini tampil seorang lelaki berpakaian seronok sebagaimana lumrahnya gypsy, berdiri di atas ancik-ancik, memainkan gitar flamenco mengiringi tarian seorang perempuan menor yang berpakaian gypsy pula. Aku taruh uang di topi sawer dekat kaki penggitar, meminta penari menarikan dua-tiga lagu lagi.
Aku tertarik pada tarian seperti itu, lebih mengasyikkan dari tarian klasik macam balet yang koreografinya dicipta di atas komposisi karya seorang komponis. Rasa senang menyaksikan tarian flamenco sebab gerakannya sangat memukau. Gerakan yang lucu disebut bulerias, dan gerakan yang sangar disebut farruca. Lalu gerakan khas kaki disebut zapateado, dan gerakan khas tangan berputar disebut filigrano.
Dengan melihat selintas, rasa-rasanya aku sanggup melakukannya. Begitu aku bilang pada iparku ini. Kakak Ruud ini seakan tak percaya.
Dia bertanya, ”Kamu bisa menari?”
Aku jawab, ”Sejak kecil aku suka menari.”
Malahan aku membayangkan, jika aku menjadi penari—dan aku kira bisa memperoleh nafkah darinya kalau itu dilakukan di tempat-tempat khusus—maka aku ingin tarianku mampu menyihir penonton. Dalam angananku, mungkin tarian yang bisa menyihir orang itu mesti dilakukan dengan tubuh-roh-jiwa yang menyatu. Kira-kira idealnya, menari dengan dua tangan, tapi tampak bagai empat tangan, seperti empat tangan dalam patung Dewa Siwa di Rijksmuseum itu yang selalu menggoda perhatianku.
6
Di mana Ruud ketika aku ngidam? Hanya Ruud sendiri dan Tuhan yang tahu di mana dia pada waktu- waktu aku sangat membutuhkannya.
Diingat-ingat, selama ini belum pernah satu kali pun Ruud berjalan bersamaku dalam gerak-gerak badan di alun-alun Dam.
Dalam keadaan ngidam, aku gelisah dan gelagap, ingin misalnya melabraknya, mencubitnya, menjewernya, bersamaan dengan itu aku ingin juga misalnya dibelai-belai, dielus-elus, ditimang-timang.
Tapi ke mana Ruud?
Dia lebih sibuk dengan dirinya di luar rumah.

 13) daerah mesum di Amsterdam di mana pelacur-pelacur dipajang dalam keadaan telanjang di balik kaca pinggiran jalan

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/19/05473243/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar