Sabtu, 29 Mei 2010

haa iki uneg-unegku

jakarta, 29 mei 2010

rencana motor tidak diperkenankan menggunakan premium sedang hot-hotnya, dan sudah ditanggapi dengan berbagai macam komentar. Namun satu hal yang sepertinya dilupakan adalah mengapa motor begitu menjadi primadona transportasi. Pada awalnya untuk di jakarta, entah kalo di kota lain, adalah keinginan untuk tidak terjebak kemacetan dan cepat mencapai tujuan orang-orang beralih ke motor. Dan rupanya "kelancaran dan kecepatan" tersebut diterjemahkan dengan perilaku mengemudi yang brutal di jalanan, demi tercapainya "kelancaran dan kecepatan" motor dijalankan dengan kecepatan diatas rata-rata dan menghalalkan segala cara, contohnya : menyerobot lampu lalu lintas, memotong jalur pengendara lain, menggunakan trotoar yang seharusnya merupakan hak pejalan kaki, itu semua nyaris tidak pernah menjadi concern para petugas yang bertanggung jawab mengenai masalah ketertiban berlalu lintas.

Indonesia disuarakan saat ini sudah menjadi nett importir minyak, jadi sebenarnya hal yang wajar seandainya diwacanakan peniadaan bbm bersubsidi, namun lebih bijaksana lagi adalah sebelum wacana tersebut di sosialisasikan ke masyarakat dilakukan penataan transportasi yang nyaman dan penertiban etika berlalulintas, apabila 2 hal tersebut bisa terwujud, rasanya wacana dan bahkan pencabutan subsidi bbm tidak akan menjadi polemik yang ke sekian di negeri tercinta ini. Hanya sayangnya menjadi pertanyaan besar apakah hal tersebut bisa terwujud ditengah arogansi sekrup-sekrup negeri kita ini yang sangat percaya dengan pendapatnya masing-masing. Pendapat yang berbeda memang harus dihargai karena itu adalah bentuk demokrasi, namun pada saat harus dibuat sebuah keputusan yang pada hakekatnya itu merupakan output dari dinamika demokrasi, siapakah yang mampu membuat output tersebut, yang pelaksanaannya akan diakui, dihormati, dan dipatuhi seluruh warga negara?------------------------------------------------------------------------

-isn-.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar