Kamis, 20 Mei 2010

haa iki Mata Hari 14

AKU MATA HARI
Kamis, 20 Mei 2010 | 05:17 WIB
Remy Sylado

Ada desasdesus yang sampai di telingaku tentang di mana Ruud, tapi seperti semua desasdesus itu biasa disebarkan oleh orang yang iri dan benci kepada seseorang, maka aku merasa tidak perlu memberi telinga terhadap omongkosong penganggur, walaupun di balik itu semuanya aku harus mengaku, bahwa nyata pikiranku terusik dan perasaanku terganjal.
Lebih-lebih lagi sebab saudara perempuan Ruud, yaitu iparku, lebih dulu percaya pada desasdesus itu, lantas mengingatkan aku untuk bersikap tegas.
Jujur, aku memang penasaran, ke mana Ruud di malammalam tertentu, siang-siang tertentu, bahkan pagi-pagi tertentu, justru di saat aku memerlukannya karena bimbang dan gamang menghadapi masa-masa awal kehamilanku.
Apabila dia pulang pada larut malam, langkahnya terseret, baunya alkohol, dan dalam sadar-tak-sadar dia bukan mengajak tapi memaksa aku bercinta dengan caranya yang macam singa lapar.
Sampai usia kehamilanku tiga bulan, dia masih melakukan ini. Setelah kakaknya mengatakan itu tidak baik bagi kesehatan, dia lebih sering ke luar rumah, pergi sepanjang malam, dan pulang pada pagi harinya.
Desasdesus yang sampai di telingaku itu, adalah dia pergi ke suatu tempat di mana selama ratusan tahun ini orang biasanya menjual dan membeli cinta.
Seandainya desasdesus itu benar, aku akan kecewa berat pada diriku sendiri, sebab aku kadang berpikir bahwa Ruud benar-benar sayang padaku, dan dia takut kehilangan diriku yang muda dan dia tua bahkan botak pula.
Bagaimana kalau ternyata aku terkecoh pada rumangsa yang keliru itu?
Jika begitu kadar pikiranku cuma isapan jempol.
Takkan ada tepuktangan terhadap kebodohan.
Pernah satu kali, dua kali, tiga kali, dan banyak kali, sampai bosan, ketika dia akan pergi meninggalkan rumah, aku bertanya hendak ke mana, dan jawabnya sama, menjengkelkan, muka merengut seperti tersiram cuka, bahwa urusannya itu adalah urusan lelaki bukan urusan perempuan. Masih untung dia tidak mengatakan: tutup mulut.
Kemarin sore, di usia kehamilanku berjalan tujuh bulan, Ruud siap-siap pergi, dan kakaknya bertanya pertanyaan yang sama: hendak ke mana?
Aneh dan selungkang, dia menjawab, ”Aku ingin bersenang diri dari rasa penat menunggu-nunggu keberangkatan kapal dari Genoa ke Indonesia.”
”Bersenang-senang?” tanya saudara perempuannya, tak acuh, sambil berjalan ke mejamakan, menuang air di cangkir.
”Ya,” sahut Ruud. ”Teman lamaku, kamu ingat Charles Pears, kapalnya sedang bersandar di kanal Noord Zee.”
Saudaranya mendehem sebelum meminum air di cangkirnya itu. Dia tidak percaya pada omongan Ruud. Setelah Ruud pergi dengan meninggalkan sun basabasi di pipiku, iparku ini berkata serius:
”Aku minta kamu jangan percaya omongan John. Dia pasti bohong.”
”Bohong apa?” tanyaku lugu.
”Fantasinya tinggi,” jawab kakaknya itu. ”Harusnya dia jadi aktor. Aktor-aktor biasa bermain dengan fantasi.”
”Tapi dia suamiku,” kataku, mencoba membela tanpa mencoba memahami yang dipahami iparku itu. ”Aku harus percaya pada suamiku.”
”O, ya, ya, itu bagus, Margaretha,” katanya memuji tapi prihatin. ”Itu bisa jadi model istri yang baik. Istri yang baik memang tidak memelihara curiga dalam pikirannya. Dengan memelihara curiga berarti memasang perangkap bagi keleluasaan diri sendiri. Masalahnya, kamu belum tahu adikku itu. Sejak anak-anak John biasa tidak setia pada dirinya sendiri. Sering dia mengalirkan comberan di kepalanya.”
”Aku tidak mengerti,” kataku.
”Aku kenal betul John,” katanya. ”Sejak kecil dia adikku, dan setelah tua dia masih tetap adikku.”
”Oh, aku bingung,” kataku, dan aku ingat apa yang dikata­kan Ruud kepadanya tadi. ”Baru saja dia bilang mau pergi ke pelabuhan.”
”Ya, Margaretha, dia memang betul ke daerah pelabuhan sana. Dan kita tahu, pelabuhan adanya di tempat yang ada lautnya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/20/05174669/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar