Selasa, 11 Mei 2010

haa iki Mata Hari 5

Aku Mata Hari (5)
Senin, 10 Mei 2010 | 05:45 WIB
Remy Sylado
Aku tidak peduli namaku nama santa.
Ayah memanggilku Margriet, nama bunga; Ibu memanggilku Rietje, nama sayang.
Semua akan lupa nama-nama itu, termasuk aku pribadi, sebab pada waktunya kelak aku lebih dikenal sebagai Mata Hari, nama yang aku bikin sendiri demi karierku, tanpa upacara saji bubur merah-putih seperti lazimnya dalam tradisi Ibu.
Umur 14, setelah datangbulan, aku merasa terjadi sesuatu yang ajaib dalam kelaminku. Tiba-tiba aku merasa menemukan kesenangan meraba-raba dan mengorek-ngorek kelaminku dengan jariku. Kemudian, ketika aku lena, aku membayangkan jariku itu membesar seperti entah wortel entah kentang, yang masuk-keluar di situ dengan irama tertentu.
Ternyata kesenangan itu merupakan tindak tanduk insani yang telah mendorong jiwaku untuk lebih cepat meninggalkan masa kanak lantas berangkat menjadi akil balig. Maka, di usia 18 tahun aku kawin, gerangan tidak tahan lagi untuk terus menerus menikmati apa yang dulu aku bayangkan sebagai wortel atau kentang.
Aku kawin dengan lelaki berumur dua kali lebih tua dari usiaku yang mencari jodoh lewat iklan di surat kabar ’s-Graven­hage.) Isi iklannya memukau perhatianku: seorang opsir berkebangsaan Skot yang bekerja untuk ketentaraan Kerajaan Belanda mencari istri yang segera dibawanya ke negeri jajahan Belanda, Indonesia.
Dua perhatian yang merangsang kemauanku di situ.
Pertama, dengan mengalami kawin maka aku menjadi sepenuhnya perempuan. Bahwa arah langkah perempuan akhirnya adalah ibu. Sebelum menjadi ibu, perempuan lebih dulu menjadi istri. Dalam kedudukannya sebagai istri, dengan sendirinya perempuan membutuhkan lelaki untuk menjadi suaminya. Aku tahu, menjadi perempuan yang sejati harus dibangun dengan adanya seorang lelaki dalam hidupku. Lelaki adalah tempat aku menguji keperempuananku. Tidak mungkin aku menguji diriku sebagai perempuan yang sejati dan sempurna kalau tidak ada lelaki yang masuk dalam diriku. Supaya lebih gamblang, dan tanpa tedeng aling-aling, aku harus berkata: menguji diri sebagai perempuan didasari pada kenyataan menerima vagina sebagai sebuah desain rekaan Sang Maha Pencipta untuk dimitrakan dengan penis dalam cara kerja koeksistensi damai. Ini hukum alam dari dasar pengetahuan insani yang berlangsung dalam semua abad melalui kemungkinan cinta dalam kecenderungan pemberdayaan vagina dan penis. Sampai mati pun aku tetap percaya pada hukum alam ini.
Perhatian kedua, kalau aku menjadi istri opsir yang bertugas di Indonesia, aku pikir bisa kembali bertemu dengan roh moyang ibuku, bersatu dengan mereka di pusat kebudayaan Jawa, Borobudur, menghayati misteri mistis dalam bunyi-bunyi gending pada laras entah slendro entah pelog. Yang aku angankan, bagaimana aku bisa menggali keindahan mistis Jawa itu dengan membiarkan diriku menjadi medium roh moyang ibuku dalam bunyi gamelan. Ketika aku mengangan-angankan ini, yang melintas dalam pikiranku adalah menari, bagaimana aku merdeka dari kaidah estetika Barat yang terlalu teknis dalam tarian-tariannya, lalu membiarkan tubuhku bergerak leluasa di bawah nada-nada gending yang secara alami menyugesti bahasa tubuhku dalam suatu kaidah estetika yang murni, lugu, liar, dan baru.
Sampai sejauh ini, bahkan setelah aku nikah dan tinggal di Indonesia, mula-mula di Tumpung, lalu Ambarawa, dan Batavia, aku belum berpikir bahwa dengan bisa menari membebaskan tubuhku dari kaidah-kaidah gerak estetika Barat, aku bisa memperoleh uang darinya. Entah besok, pikiranku berubah. Sebab, dalam hal ini aku hafal betul peribahasa Latin yang sudah melekat dalam ingatanku sejak umur 10 tahun, tentang isyarat dalam kehidupan manusia yang galib berubah di tengah zaman yang bergeser: Tempora mutantur nos et mutamur in illis. Siapa tahu, aku tak tahu, barangkali aku akan lebih cepat berubah sebelum zaman bergeser.
4) sekarang lebih populer Den Haag, atau Inggris: The Hague.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/10/05453718/aku.mata.hari.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar