Senin, 24 Mei 2010

haa iki AKU MATA HARI 17

AKU MATA HARI
Remy Sylado 17
Minggu, 23 Mei 2010 | 03:13 WIB

Terserah nasib hidup bakal menjadi bagaimana nanti.
Kereta api dari Belanda menuju ke Italia di selatan, berujung di Genoa, kota pelabuhan di teluk paling dalam dari Laut Liguria. Dari sini kami naik kapal laut melewati Laut Tirhenia ke Mesir di tenggara, dan nanti masuk ke Terusan Suez, lalu keluar ke Laut Merah, dan akhirnya mengarungi Samudra Hindia di timur.
Di dalam kamar kapal yang oleng di atas Laut Mediterania sebelum memasuki Port Said di mulut Terusan Suez, Ruud meminta bersetubuh, padahal aku masih meneteki Norman John. Aku kewalahan, sebab selalu kata ’minta’ baginya adalah ’paksa’, dan kelakuannya awet seperti singa lapar. Kayaknya, untuk urusan seks, dia harus dibilang sakit jiwa.
Memasuki Terusan Suez yang panjangnya 190 kilometer ini, terjadi benih perselisihan antara pendiriannya dengan pendirianku yang nyata tidak laras. Asalnya sepele buatku tapi jangak buatnya. Ceritanya, di Port Said naik sebuah kelompok gypsy yang akan menghibur penumpang dengan flamenconya di sepanjang terusan dan akan turun di Port Taufiq.
Ketika aku sedang menyaksikan gypsy itu sambil menimang Norman John, menunggu Ruud yang masih di bawah, seorang asing menegurku dengan empat bahasa berganti-ganti, berharap aku bisa menjawabnya salahsatu dari bahasa-bahasa itu.
Mula-mula dia bicara Itali, mengira aku orang Itali, ”Come sta lei?”)
Aku tidak melisan, hanya senyum, jadi dia mengira aku tidak mengerti, maka dia pun mengganti pertanyaan dalam bahasa Prancis, mengira aku orang Prancis, ”Parlez-vous Français?”)
Aku pun hanya tersenyum, tidak melisan, sehingga dia mengira aku tidak mengerti, maka dia pun mengganti pertanyaan dalam bahasa Spanyol, ”Soy español. Habla usted español?”)
Lagi, aku hanya tersenyum, tidak melisan, sehingga dia mengira aku tidak mengerti, dan dia pun mengganti pertanyaannya dalam bahasa Belanda, ”Spreek u Hollands?”)
Aku ketawa. Kataku, ”Ik ben een Fries. Maar ik spreek ook goed Spaans, goed Frans, goed Italiaans.”)
Dia girang. Kemudian kami berakrab-akrab, bercakap bercampur-campur dengan empat bahasa. Dia mengaku bekerja di Manila, Filipina sebagai rahib. Aku terkesiap karena dia tidak memakai jubah seperti lazimnya rahib yang memilih hidup selibat.
Lalu mata kami sama-sama terarah ke penari gypsy yang menarikan irama flamenco. Musik khas Andalusia itu terdengar padan dengan harmoni musik Arab, wilayah yang sedang di­lewati oleh kapal kami. Tarian yang diperagakan oleh penari di depanku ini lebih yahud dari yang pernah aku lihat di alun- alun Dam.
Saking suka karena bagus, tak sabar aku berseru melakukan gerakan bulerias, dan penari itu pun melakukan yang aku serukan itu.
Kemudian aku berseru lagi, meminta dia membuat gerakan farruca. Dia pun senang lantas melakukannya.
Ketika aku menyerukan zapateado, penari itu mendatangi aku, menarik tanganku, berdiri diapit oleh dua orang gitaris yang mengiringinya, lantas mengajak aku melakukan gerakan itu bersama-sama.
Aku menampik. Tapi aku terdaulat.
Rahib yang baru bercakap-cakap dengan aku, mengangkat- angkat tangannya, menyuruh aku menari bersama penari itu. Caranya menyuruh sangat menyugesti penonton yang lain untuk turut mendukungnya.
Semua pun berseru-seru.
Apa boleh buat.
Terlebih dahulu aku meminta kepada rahib itu menggendong anakku. Dia tidak menolak. Dia mengambil anakku. Menggendongnya.
Lantas aku melangkah ke arah arena tari.
Gitaris satu mengocok gitarnya dengan empat jari di atas snar pada grip-grip E. F. G. F. E. F. G. A. Lalu gitaris yang satunya memetik snar dengan plektrum memainkan melodinya.
16) Apa kabar Anda
17) Anda bercakap Prancis?
18) Saya orang Spanyol. Bisakah Anda bercakap Spanyol?
19) Apa Anda bercakap Belanda?
20) Saya orang Fries. Tapi saya bisa juga dengan baik bicara Spanyol, dengan baik bicara Prancis, dengan baik bicara Itali

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/23/03133941/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar