Buntut Cicak
Sabtu, 22 Mei 2010 | 05:15 WIBTerakhir kali, absurditas dialami Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu. Ia mundur lantaran kecewa tak diberi tahu Istana bahwa dirinya batal jadi Wakil Menkeu, yang kini diduduki Anny Ratnawati. Anda ingat apa yang dialami calon menteri kesehatan yang juga batal walau namanya diumumkan.
Kepada media, Anggito menyebut tak dikirimi pemberitahuan, dalam bentuk SMS, mengenai pembatalan itu. Dulu, Menkeu mengabarkan berita
Absurditas sebelum itu terjadi dalam Rapat Kerja Kapolri dengan Komisi III DPR tentang penyelidikan Century. Entah siapa yang keliru, Kapolri berpegang pada keputusan Opsi A Sidang Paripurna DPR. Padahal,
Oh iya, sebelum itu absurditas Century terjadi pada bahan-bahan hasil audit investigasi BPK. Ternyata DPR belum mengirimkannya kepada Presiden. Belakangan ketahuan, entah siapa yang keliru, bahan-bahan yang ditumpuk di troli itu ”dibajak” atau ”disabotase” sehingga tak terkirim.
Absurditas Susno Duadji lain lagi. Ia peniup peluit yang berkorban mau membongkar korupsi. Alih-alih mendapat perlindungan, kompensasi,
Program peniup peluit diakui UN Convention Against Corruption (UNCAC) karena cara efektif membasmi korupsi. Justru karena ada peluang emas itu, profil Susno dimuat di separuh halaman harian
Absurditas Obama juga ada, yakni pengumuman lawatannya ke sini sekitar Juni-Juli. Pertama,
Tentu saja, ”ibu dari semua absurditas” adalah pembentukan Setgab (Sekretariat Gabungan) Koalisi. Pertama, pembentukannya terkesan mendadak. Oleh sebab itu, sempat muncul nama ”sekber” (sekretariat bersama) yang belakangan ditukar jadi ”setgab”. Sebab, sekber berdampak negatif mengingat kiprahnya tahun 1964.
Waktu itu Sekber Golkar, yang terdiri dari 90-an organisasi, dibentuk untuk mendukung Presiden Soekarno melawan pengaruh PKI. Mereka mengusulkan Soekarno dikukuhkan sebagai ”Presiden Seumur Hidup”. Namun, mereka pula yang menikam Soekarno dari belakang lewat Supersemar.
Kedua, Setgab dibentuk seperti perayaan pesta setelah tersingkirnya Menkeu Sri Mulyani. Dan, berhubung penyelesaian skandal Century telah masuk ranah konstitusional/politik/hukum, tak mustahil Setgab bergulir jadi ”bola liar” yang bisa jadi dimanfaatkan untuk menyingkirkan mereka yang, menurut Opsi C, melakukan penyimpangan.
Setgab boleh membantah peranannya menghambat jalannya hak menyatakan pendapat menuju pemakzulan. Namun, politik, seperti kata Harold Lasswell, adalah ”siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana”. Belum semua tokoh enam partai koalisi yang kebagian dan menunggu peluang emas.
Ketiga, dalam kondisi politik saat ini, kehadiran Setgab kurang dibutuhkan. Toh, koalisi sudah kuat di kabinet dan DPR, dipimpin duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang didukung 61 persen rakyat dan enam partai mayoritas DPR. Apalagi, tak tanggung-tanggung, Setgab diketuai langsung Presiden dan dijalankan Ketua Harian/Ketua Umum Golkar.
Kondisi politik kurang normal selama setahun terakhir justru karena elite yang memerintah sudah superkuat sehingga malah terkesan banyak lembaga yang saling tumpang tindih. Ibaratnya, kini ada gejala ”
Seolah penyelenggaraan negara dijalani orang-orang dekat saja. Struktur/kekuatan resmi, seperti menteri nonpartai, partai oposisi, masyarakat madani, media, dan kelas menengah, embel-embel yang tak perlu ruang gerak. Di atas segalanya,
Elite yang berkuasa seperti pemain-pemain drama tanpa penonton. Rakyat tak bisa lagi bereaksi terhadap kekuasaan karena lelah menyaksikan absurditas. Jika kondisi ini dibiarkan, cepat atau lambat terjadi pembusukan karena elite makin hilang kuasa, wibawa, dan karisma.
Protes rakyat kayak
Hari Jumat (21/5) kemarin pas 12 tahun Presiden Soeharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar