Minggu, 30 Mei 2010

haa iki Cobaan untuk Kong Tjoan


KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Warga Tionghoa Tangerang di daerah Pasar Lama merayakan Waisak, Jumat, 28 Mei 2010.
 
Cobaan untuk Kong Tjoan
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:34 WIB

Budi Suwarna danIwan Santosa

Belakangan ini Oen Kong Tjoan (67) sering gusar. Dia takut rumah dan sawahnya tergusur proyek perumahan. Kalau itu terjadi, hidupnya bisa keblangsak alias sengsara. 
Laki-laki yang lahir, besar, dan kini menua di kampung Cukanggalih, Panongan, Banten, itu ingat benar beberapa temannya yang menjual tanah dan pindah ke kota hidupnya keblangsak. ”Gimana kagak keblangsak, itu orang bisanya cuma macul (bertani) doang, dagang kagak becus, kerja lain kagak bisa,” ujar Kong Tjoan dengan nada tinggi, Rabu (19/5) pagi.
Sebagian besar warga komunitas Cina Benteng di Cukanggalih secara turun-temurun adalah petani. Kong Tjoan, misalnya, menggarap sekitar 1 hektar sawah dan kebun warisan orangtuanya. Pagi itu, selepas menandur padi, dia istirahat di bale-bale bambu depan rumahnya yang berlantai tanah. Istrinya, The Pin Nio (48), sibuk di samping rumah mengurus tiga babinya yang gemuk-gemuk.
Buat Kong Tjoan, petani itu harus punya tanah. Kalau tidak ada tanah, berarti dia tidak bisa macul. Karena itu, kalau ada yang menggusur sawah dan rumahnya, itu sama saja dengan membunuh dia secara perlahan. ”Saya ge kagak bisa dagang. Kalau digusur terus pindah ke kota, saya mau kerja apaan? Pan di kota kagak ada sawah,” tutur Kong Tjoan dengan dialek Betawi medok.
Apa mau dikata, bayang-bayang penggusuran itu justru kian jelas dari tahun ke tahun. Proyek perumahan modern bahkan telah mencaplok sebagian sawah milik komunitas Cina Benteng di sekitar Cukanggalih. Kini, perumahan tersebut jaraknya tidak lebih dari 1 kilometer dari tempat tinggal Kong Tjoan.
Buat laki-laki beranak enam itu, perumahan tersebut seperti ”dunia lain”. Rumahnya bagus-bagus, lengkap dengan taman. Jalannya pun beraspal mulus. ”Itu, mah, tempatnya orang gedongan,” katanya.
”Dunia” Cukanggalih sangat berbeda. Jalan-jalan kampung sebagian besar tanah. Sebagian rumah masih berlantai tanah dan berdampingan dengan kandang babi.
Kong Tjoan makin gusar karena televisi bulan lalu gencar memberitakan penggusuran permukiman penduduk yang sebagian penghuninya orang Cina Benteng di sepanjang aliran Kali Cisadane, Tangerang. Dia bertanya, ”Apa penggusuran nantinya sampe ke sini? Saya, mah, udah pasrah sama cobaan ini.”
Tidak hanya Kong Tjoan, Yadi (22) juga khawatir rumah engkongnya (kakek), Lim Tjoan Lie, di Kampung Baru, Legok, Banten, terkena pelebaran jalan. Rumah engkongnya hanya sekitar 15 meter dari jalan. Kalau dilebarkan, hampir pasti sebagian halaman rumah engkongnya bakal tergerus.

Tergilas

Komunitas Cina Benteng, seperti juga komunitas-komunitas lokal lainnya di Indonesia, belakangan ini terancam rancangan pembangunan dengan kacamata ”kartografis”. Pendekatan ini, kata Iwan Meulia Pirous dari Pusat Kajian Antropologi FISIP-UI, sering diterjemahkan menjadi ”politik zoning”.
Pada masa Belanda, cara ini dilakukan dengan mengatur lokasi permukiman berdasarkan etnis. Tujuannya untuk mencegah konflik etnis dan memudahkan kontrol.
Pada masa kini, seperti di Tangerang, kata Iwan, ”politik zoning” terjadi demi menunjang kepentingan modal dan prestasi fisik penguasa. Kota dibayangkan sebagai master-plan di atas kertas yang harus mengikuti skala, indeks, dan hitung-hitungan ekonomis. Pendekatan ini ramah pada investor meski kerap mengorbankan hak ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat kecil.
Penggusuran sesungguhnya bukan sekadar urusan memindahkan orang secara fisik. Bagi komunitas yang hidup komunal selama beradab-abad seperti sebagian warga Cina Benteng, penggusuran sama dengan mencabut mereka dari ruang sosial, sejarah, ingatan kolektif, dan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Hendra alias Acong, Ketua Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Cabang Banten, tahu benar jika komunitas Cina Benteng tercerai-berai, tradisi mereka yang masih tersisa lambat laun akan habis. ”Orang Cina Benteng, terutama di udik, enggak bisa tinggal jauh-jauh dari kampungnya,” kata Acong, yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng.
Selain pembangunan, kata Acong, ada faktor lain yang mengancam tradisi Cina Benteng. Pertama, konversi agama. Kedua, kurang sadarnya generasi muda Cina Benteng bahwa tradisi mereka sangat berharga untuk dipelihara.
Generasi muda Cina Benteng di udik sendiri kini menghadapi dilema. Mereka mau macul, tetapi juga tidak pandai berdagang. Pendidikan pun pas-pasan. Akhirnya, mereka hanya bisa bekerja di pabrik. ”Yang perempuan banyak kerja nyuci di rumah orang-orang gedongan,” kata Kong Tjoan.
Pusaka hidup atau Living heritage memang sedang diuji zaman. Seharusnya, kata Iwan, komunitas lokal, seperti Cina Benteng, benar-benar dijaga. Pasalnya, keberadaan mereka menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang. Keberadaan Cina Benteng menyimpan jejak generasi dulu yang memiliki semangat multikultural, siap menerima perbedaan, dan melakukan dialog budaya, bahkan berakulturasi secara sempurna.
”Ini penting untuk memperkuat otoritas Indonesia sebagai bangsa yang plural sejak dulu,” kata Iwan.
Jika jejak Cina Benteng itu hilang ditelan zaman, berarti sebagian jati diri bangsa ini juga hilang. Barangkali gambang kromong, tarian cokek, dan upacara Chio-Thau pun tinggal menjadi kenangan. (Pinkan Elita Dundu)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04344725/cobaan.untuk.kong.tjoan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar