Minggu, 30 Mei 2010

haa iki "Pinter, Bener, Kober"


KOMPAS/FRANS SARTONO
 
Bhante Dhammasubho:
"Pinter, Bener, Kober"
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:29 WIB

Oleh Maria Hartiningsih dan Frans Sartono
Bagaimana memahami yang sedang terjadi pada zaman di mana harga hidup sangat murah, di mana sikap ”paseduluran” atau persaudaraan yang dalam menguap dalam hubungan antarmanusia, di mana kekuasaan memangsa semua yang dipinjam dari kehidupan? 
Bhante Dhammasubho (54) menarik napas panjang. Ia tampaknya paham, pertanyaan-pertanyaan itu mencakupi banyak hal yang hendak menjadi bahan perbincangan empat jam di Wisma Theravada, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Seperti Gus Dur, sahabatnya, Bhante Dhammasubho juga dikenal merangkul semua yang dianggap ”berbeda” dari ”baju luar”-nya. Ia punya ketajaman melihat tanda-tanda zaman dan memaknai berbagai peristiwa sehingga terasa menguakkan lapis demi lapis tabir ketidaktahuan tentang kesejatian hidup.
Persahabatannya dengan Gus Dur awet terjalin sampai Gus Dur berpulang. Bagi Bhante, Gus Dur lebih dari sekadar sahabat. ”Persahabatan kami tidak diikat materi, pangkat, atau kedudukan. Kami saling menjaga, saling merawat dengan tulus dan ikhlas, dengan tali jiwa dan tali rasa. Di Jawa ada istilah sedulur sinarawedi, yang susah diterjemahkan....”
Hari itu juga ada Chusnul, aktivis kemanusiaan dari Sulawesi Selatan yang beberapa bulan terakhir sering mengunjungi Bhante untuk berdiskusi tentang masalah riil kemanusiaan dalam perspektif Buddhisme untuk bahan penelitiannya. Perbincangan sempat terputus pada pukul 11.00, jam makan terakhir hari itu. Baru keesokan harinya, ia boleh makan lagi. Kami menemaninya.

Jalan tengah

Purnama dan hari cuci Waisak seperti suatu kesatuan. Seperti dijelaskan Bhante, ”Siddharta Gautama lahir pada purnama bulan Waisak, mencapai pencerahan pada purnama bulan Waisak dan wafat pada purnama bulan Waisak. Trisuci Waisak, tiga peristiwa penting terjadi pada bulan yang sama.”
Sebagai umat Buddha, memperingati Waisak artinya kembali membangun spirit. ”Siddharta itu manusia biasa, bahan bakunya sama, terdiri dari unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin, yang semuanya adalah milik alam semesta. Ia meninggal juga dengan cara biasa, tidak moksa. Yang membedakan adalah kualitas kemanusiaannya.”
Bisa dijelaskan?
Kita baca sejarah, perjalanan keluar istana membuat Siddharta melihat empat peristiwa, yaitu orang tua renta, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa, yang diramalkan pertapa Asita dan ahli nujum Kondannnya, akan mengantarkan Siddharta menjadi Buddha, pelaku spiritual yang mendunia. Empat peristiwa yang lazim terjadi itu menyadarkan Siddharta, hal itu juga akan menimpa dirinya. Itulah yang mendorong Siddharta memutuskan bertapa selama enam tahun untuk menemukan jawaban.
Inti jawaban itu adalah empat kasunyatan mulia. Hidup adalah mengalami penderitaan; penderitaan terjadi karena nafsu-nafsu keinginan secara ekstrem; penderitaan berhenti kalau keinginan yang ekstrem itu berhenti; bagaimana menghentikannya adalah dengan ahimsa, anti kekerasan; jalan tengah berunsur delapan, antara lain, pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Kebenaran yang dimaksud adalah benar untuk diri sendiri, benar untuk orang lain, benar untuk diri sendiri dan orang lain, juga benar untuk lingkungan.
Bagaimana konteks kekiniannya?
Siddharta adalah manusia besar yang kebesarannya bertahan berabad-abad. Ia bersentuhan dengan kehidupan masyarakat luas, sangat peduli kepada orang kecil, berbudi luhur, mengajarkan ikhlas dan sentuhan jiwa nurani yang tulus. Ia menjadi ikon zaman, kehadirannya diterima melintasi batas-batas zaman. Hidupnya memberi contoh tentang menyatunya pikiran, perkataan, dan perbuatan, tentang nonkekerasan atau ahimsa, cinta kasih, kesederhanaan, serta ajek konsisten dalam pernyataan dan style.
Style?
Style biku yang digariskan Siddharta sampai sekarang masih ditaati sesuai pola dan ukurannya (ia menunjukkan petak-petak jubahnya). Ini seperti petak sawah, hanya 30-40 cm setiap petak. Artinya, para pertapa, pelaku spiritual itu, hendaknya seperti sawah, seperti ladang, seperti bumi yang subur. Ia menjadi pengayom dan pengayem, menjadi sahabat rohani masyarakat, dan hendaknya bisa memberi keluhuran, ketenteraman, dan kemakmuran bagi kaumnya.
Pemimpin yang diidamkan saat ini juga diharapkan bisa menjadi pengayom dan pengayem. Pertama, berjiwa bersih dan berwibawa, berkemanusiaan dan berkeadilan, setidaknya berakal budi suci seperti Buddha.
Kedua, pinter, bener, kober. Pinter artinya pandai, bener artinya benar; yang ukurannya ada empat; kebenaran itu bisa diterima diri sendiri, diterima orang lain, diterima diri sendiri dan orang lain, serta diterima lingkungan. Kober itu peduli atau sempat. Tiga akar kata dari bahasa Jawa itu menjadi titik sentral dunia sekuler maupun dunia spiritual, dayanya mampu menembus sekat-sekat zaman, batas-batas nusa, manusia, bangsa, budaya, dan agama.
Negara akan utuh dan tenteram apabila bangsanya tidak melupakan sejarah, rakyatnya tidak meninggalkan sastra dan budayanya, para pemimpinnya malu berbuat jahat karena takut (karena tahu) akibatnya. Itu penemuan Siddharta yang penting.

Empat zaman 

Bhante Dhammasubho mengatakan, kualitas kemanusiaan mengalami perubahan. Dari zaman Siddharta sampai sekarang, bisa dibagi menjadi empat masa, seperti simbol Swastika yang terdiri dari empat kolom, menggambarkan perjalanan sang waktu.
Kolom pertama menggambarkan zaman keemasan, kemudian perak, lalu perunggu, dan yang terakhir besi. Ketika semua dalam keadaan baik, damai, dan tenteram, itulah zaman keemasan. Tetapi, semua tidak langgeng, kualitas manusia pun menurun dan terus menurun.
”Ketika zaman besi, semua menjadi keras, perilaku keras, tangan saja harus besi. Mungkin sekarang ini zaman besi, besi pun rongsokan,” ia menambahkan, ”Sekarang orang yang kualitasnya baik malah tersingkir.”
Namun, diingatkan, setiap zaman akan terjadi titik kulminasi. ”Kalau ada puncak kejayaan pada zaman keemasan, zaman besi pun akan mengalami puncak kebrengsekan, begitu kira-kira sebelum akhirnya terjadi akumulasi kesadaran. Dengan kesadaran itu, mereka akan membangun kembali pola pikirnya, perilakunya, mau memaafkan, karena ada kesadaran bahwa kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Sekarang sudah mulai.”
Bagaimana kualitas manusia dihubungkan dengan semua ini?
Manusia berkualitas mampu menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga diri di atas harga materi. Pada zaman keemasan spiritualitas, individu-individu mampu dan berupaya menghargai hidup sekecil apa pun.
Yang terjadi sekarang, sebaliknya; banyak orang menempatkan harga materi di atas harga diri karena mengira materi adalah segalanya, dipuja seperti dewa, tak soal harga dirinya jatuh asal bisa mendapatkan materi dengan segala cara. Kemudian, menempatkan harga diri di atas harga hidup. Akibatnya, hidup menjadi murah, pembunuhan terjadi di mana-mana, kadang dengan mengatasnamakan agama.
Bagaimana supaya selamat dari ontran-ontran zaman?
Di sini kita disadarkan akan gunanya nilai-nilai spiritual. Kalau manusia itu kejiwaannya lentur, pinter, bener, kober, dekat dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya, jiwa kemanusiaannya itu yang memanggil.
Lalu, ada petuah orang-orang tua supaya kita eling dan waspada, yang dalam bahasa Buddhisme adalah satti sampajanna, artinya sadar setiap saat. Pikiran, perkataan, dan perbuatannya satu.
Apa yang masih menjadi keprihatinan Anda?
Di mana-mana saya bicara untuk mengajak mengembalikan nilai-nilai dan menghidupkan kembali yang namanya budaya puja. Dulu kita makmur karena perilaku manusia yang merawat alam, menjaganya, sehingga kehidupan pun tenteram dan damai. Ketika perilaku manusia berubah dan meninggalkan tradisi budaya puja, kemakmuran dan keberkahan menjadi surut.
Budaya puja adalah tindakan untuk berlaku hormat (dengan kesungguhan hati) kepada siapa saja, termasuk kepada alam dan lingkungan hidup, dimulai dengan menghormati diri sendiri. Orang yang berlaku hormat adalah orang yang punya moralitas karena puja berkaitan dengan moral dan spirit. Membangun spiritualitas, moral, dan kemanusiaan bisa dimulai dari budaya puja.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/0329048/pinter.bener.kober

Tidak ada komentar:

Posting Komentar