Selasa, 25 Mei 2010

haa iki Aku Mata Hari 19

Aku Mata Hari 
Selasaa, 25 Mei 2010 | 02:55 WIB
Remy Sylado
8
Kami tiba di Batavia pada hari Minggu. Di sini kami menginap dua malam di perumahan tentara di Beierlaan) tak terlalu jauh dari Meester Cornelis,) lantas pada hari Selasa dengan kapal kami ke Semarang dan terus ke Ambarawa.
Ambarawa memang tidak sepanas Batavia atau Semarang yang kami singgahi, dan tidak juga berdebu, tampak hijau sawah di timur, serta kawanan pipit dan gelatik ramai di sana.
Di Ambarawa kami tinggal di perumahan tentara tak seberapa jauh dari Stasion Kereta api Willem I) di mana angin sejuk dari Gunung Ungaran di barat serasa seperti udara musim semi di Eropa.
Kami mendapat seorang babu—aku menyebutnya ’meid’, Ruud menyebutnya ’bedinde’— berusia lima tahun lebih tua dari umurku, dan sudah pandai membuat sejumlah masakan Belanda mulai dari yang repot seperti biefstuk) sampai yang gampangan seperti hutspot.)
Dia pun bisa berbahasa Belanda, khas Indo-Indo, yaitu bahasa Belanda argot, misalnya kata-kata yang baku di Belanda sebagai ’aanstellerig’ di Indonesia menjadi ’aanstiel’ maknanya ’genit’; yang baku di Belanda ’alstublieft’ di Indonesia menjadi ’alsjeblieft’; di Belanda ’dank u wel’, di Indonesia ’dankje’; atau di Belanda ’water closet’ disingkat ’wc’, di Indonesia menjadi ’kak huis’ harafiahnya ’rumah tai’ dan belakangan diserap bahasa Indonesia menjadi ’kakus’, dan seterusnya.
Nama asli babu kami ini Kinanti. Tapi karena tangan kirinya yang aktif, maka orang-orang memanggilnya Nyai Kidhal. Bahasa Jawa ’kidhal’ berarti orang yang memakai tangan kiri, sedang sebutan ’nyai’ pada waktu itu lumrah ditujukan kepada perempuan-perempuan pribumi yang menjadi babu Belanda.
Dari Nyai Kidhal inilah aku pertama kali mendengar kata ’matahari’ yang kemudian aku eja menjadi Mata Hari untuk nama baruku: dan disalahtafsirkan oleh orang-orang Barat sebagai ’de oog van de dag’ atau ’the eye of the day’.
Pertama kali aku mendengar babuku menyebut ’matahari’ ketika dia menyanyikan lagu ninabobo untuk Norman John.
Mula-mula dia menyanyikan lagu aslinya dalam bahasa Belanda:
Een uil zat in den olmen
Bij het vallen van de nacht
En uit het gindse verte
Antwoordt de koekoek zacht
Koekoek koekoek koekoek koekoek koekoek
Koekoek koekoek koekoek zo klinkt mijn lied
Sehabis menyanyikan lagu bahasa Belanda ini, Nyai Kidhal menyanyikan melodi yang sama dalam bahasa Indonesia yang kala itu masih umum disebut Melayu:
Terbenam matahari
Malam sudah sunyi
Burung hantu berbunyi
Di pohon yang tinggi
Kukuk kukuk kukuk kukuk kukuk
Kukuk kukuk kukuk kukuk kukuk.)
Aku terperanjat mendengar nyanyian Nyai Kidhal. Betapa pintarnya orang Indonesia mengutak-atik melodi lagu bahasa Belanda menjadi Indonesia. Aku tidak tahu harus menyebut apa kepintaran ini: kreatif atau kriminil?
Waktu itu aku belum fasih berbahasa Indonesia. Aku belum tahu apakah kata dalam setiap larik itu merupakan terjemahan atau saduran.
Yang sekejap menarik perhatianku dari nyanyian Nyai Kidhal itu adalah kata kedua di larik pertama lagu, ’mata­hari’. Kata ini terasa enak di telinga.
Maka aku bertanya pada Nyai Kidhal, ”Wat is ’matahari’ toch?”)
Jawab Nyai Kidhal, ”Letterlijk, ’mata’ betekent ’oog’, en ’hari’ betekent ’dag’.”)
Aku mengerti. Ternyata lirik bahasa Indonesia itu bukan terjemahan dalam arti translasi melainkan transkreasi.
22) sekarang Jalan Kesatriaan, daerah Matraman
23) sekarang Jatinegara
24) sekarang Museum Keretaapi Ambarawa
25) Inggris: beefsteak
26) kentang, bawang merah, wortel, dan sedikit daging yang direbus bareng-bareng
27) lirik yang umum dikenal sekarang: Matahari terbenam/ Hari mulai malam/ Terdengar burung hantu/ Suaranya merdu, dst
28) Apa itu matahari?
29) Harafiahnya, ’mata’ berarti ’oog’ (mata), dan ’hari’ berarti ’dag’ (hari)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/25/02555423/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar