Minggu, 09 Mei 2010

haa iki cerbung Mata Hari 4

AKU MATA HARI
Minggu, 9 Mei 2010 | 05:22 WIB

Sebulan, dua bulan, di dalam penjara Perancis ini mulai membuatku merenung-renung, apakah aku salah? Mungkin yang benar aku tenahak. Pertanyaan yang tidak mau aku jawab, mengapa aku terlalu mencintai tubuhku, menjadikan tubuhku sebagai berhala fornikasi, bersenggama dengan begitu banyak lelaki.
Memang di antara lelaki-lelaki itu, akhirnya aku yakin hanya satu lelaki yang sungguh-sungguh aku cintai, kapten muda berusia 21 tahun orang Rusia, Vadim Maslov, atau orang lain mengejanya Vladimir de Masloff.
Lambat atau cepat orang- orang itu semua akan terlupakan dari sejarah, tapi aku yakin orang-orang akan selalu mengingat aku, Mata Hari.
Sambil menerawang ke lembar masa silam, aku makin yakin, garis nasibku saat ini tak boleh tidak merupakan karma dari jalan hayat yang pernah aku lalui sejak aku menikah dengan MacLeod yang aku panggil Ruud, dan memulai kehidupan yang punya catatan-catatan tersendiri di Indonesia.
O, ya, kenapa dari tadi aku selalu menyebut nama kepulauan Nusantara itu ’Indonesia’, padahal aku tahu pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Nederlandsch IndiĆ«, artinya ’Indianya Belanda’, atau dieja menurut bahasa Melayu ’Hindia Belanda’, kemudian suamiku yang bercakap Inggris dengan logat Skotland menyebutnya Dutch East Indies.
Aku lebih suka menyebut ’Indonesia’ sebab aku setuju pada gagasan orang Jerman, Prof. Dr. Adolf Bastian dalam bukunya yang terbit pada 1884.) Sekaligus dengan itu aku mengingatkan diriku sendiri, bahwa ibuku itu memang orang Indonesia, blasteran Belanda dengan Jawa.
Dan, akhirnya dengan bangga aku harus berkata namaku Mata Hari adalah bahasa Indonesia. Aku bisa terjemahkan kata Mata Hari dalam tujuh bahasa, sebab sebagai penari yang menari di antero kontinen Eropa sampai Turki dan Mesir, dan juga merangkap melacur di situ, aku bisa bercakap dengan bahasa-bahasa setempat. Dengan melihat diriku yang jalang-sundal-lacur dan bercakap dengan tujuh bahasa, maka orang menyebutku ’polyglot harlot’. Tidak ada alasan untuk tersinggung. Aku malah merasa tersanjung.
Suatu waktu nanti, kalau aku sudah tidak ada, sebab kematian adalah suatu kepastian dalam kehidupan, maka aku ingin mati sebagai manusia biasa, bukan bangsa tertentu dengan bahasa kebangsaannya, tapi tetap sebagai sosok penari telanjang. Itu sebabnya, kalau aku mati, aku ingin telanjang pula, memahami betapa eloknya nas yang aku baca dari cerita Nabi Ayub dalam bahasa Belanda, ”Naakt ben ik uit mijne moeders buik gekomen, en naakt zal ik daarhenen wederkeren.”)
2
Leeuwarden anno 1876. Itu tahun Masehi di mana aku lahir dari rahim Antje van der Meulen yang berdarah Indonesia.
Oleh ayahku Adam Zelle aku diberi nama Margaretha Geertruida. Kata Ibu, Ayah memilih nama ini dari catatan nama-nama santa dalam tradisi Katolik, dan aku anggap itu aneh, sebab tetangga kami di Leeuwarden, provinsi paling utara Belanda, Friesland—yang sehari-harinya tidak bercakap bahasa Belanda melainkan bahasa sendiri Fries yang berinduk pada bahasa Anglo-Saxon—adalah sebagian orang-orang Protestan dari latar Calvinis kaku.
) Indonesia oder die Insel des Malyschen Archipels
) Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/09/05225855/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar