Minggu, 30 Mei 2010

haa iki BERSATU DALAM GAMBANG KROMONG


KOMPAS/BUDI SUWARNA
The Pin Nio (58) beraktivitas di dapur rumahnya yang masih tradisional Rabu (19/5), di Kampung Cukanggalih, Desa Ciakar, Kecamatan Panongan, Tangerang, Banten. Kehidupan warga Cina Benteng tampak bersahaja.
BERSATU DALAM GAMBANG KROMONG
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:35 WIB

 Iwan Santosa dan Budi Suwarna

Irama gambang kromong terdengar merdu di pesisir pantai Tangerang. Petang itu, warga Cina Benteng dan Betawi bersama-sama hanyut dalam pesta ”shejit” (ulang tahun) Kelenteng Tanjung Kait. 
Begitulah gambaran harmonisnya hubungan masyarakat Cina Benteng dan Betawi di Tangerang yang terekam tiga tahun lalu. Hingga sekarang, hubungan harmonis yang telah berusia ratusan tahun itu masih terjaga.
Setiap acara shejit digelar, pelataran kelenteng yang berada satu kompleks dengan Kramat Dewi Neng—tempat ziarah sebagian warga Betawi—itu menjadi tempat berkumpul masyarakat Cina Benteng dan Betawi. Sepanjang siang hingga malam, mereka bersama-sama menonton pentas seni Betawi dan Tionghoa yang tampil silih berganti di beberapa panggung.
Ada lenong, gambang kromong, keroncong, wayang potehi, hingga barongsai dan liong.
Mereka sama-sama antusias. Adu cepat memesan lagu dan juga ”menyawer” si penyanyi yang aduhai.
Di luar pesta semacam itu, warga Cina Benteng dan Betawi juga hidup berbaur. ”Saya sudah keturunan ke-14 yang lahir di sini. Sebagian besar Tionghoa Mauk adalah petani. Betawi Mauk jadi nelayan atau pemilik empang. Semua hidup rukun, bahkan banyak yang memiliki kekerabatan,” kata Tan Kian Hok.
Armeni (64), sesepuh Betawi, mengamini ucapan Tan (69). ”Saya sendiri masih berkerabat dengan Kin Siang keturunan keluarga tetua kelenteng. Kami berbeda, tetapi jadi satu di Mauk,” kata Armeni.
Para seniman Tionghoa dan Betawi pun berbagi panggung di acara kelenteng atau pesta di rumah warga dan rumah kawin. Mail alias Sumo (45), pria Betawi asal Kecamatan Dadap, misalnya, biasa manggung bersama seorang penyanyi Cina Benteng. ”Kalau diminta lagu Mandarin, kami layani,” kata Sumo.
Suasana seperti itu tidak hanya terjadi di Tanjung Kait, tetapi hampir di semua kantong permukiman Cina Benteng dari daerah pesisir hingga udik (pedalaman), seperti Legok, Cikupa, Serpong, Gunung Sindur, Citayam, dan kawasan hulu Sungai Cisadane.
Kunci keakraban Cina Benteng-Betawi, terutama yang tinggal di udik, mula-mula memang perkawinan campur. Sekarang, di zaman serba modern dan materialistis ini, mereka juga disatukan oleh perasaan senasib: sama-sama hidup pas-pasan.

Teluk Naga 

Bagaimana komunitas Tionghoa Peranakan itu bisa di Tangerang? Edi Prabowo, pengamat Tionghoa Peranakan yang mengajar bahasa Indonesia di Beijing, mengatakan, orang Tionghoa datang ke Teluk Naga sekitar zaman transisi dari Kerajaan Islam ke Kesultanan Islam di tanah Jawa (abad ke-15). Jadi, mereka datang jauh sebelum Portugis dan Belanda datang ke Batavia.
Nama Teluk Naga di pesisir Tangerang, kata Edi, berasal dari perahu-perahu Tiongkok yang bagian kepalanya berhiaskan naga.
Orang-orang Tionghoa ini, lanjut Edi, kawin campur dengan perempuan setempat. Perkawinan itulah yang membentuk komunitas Tionghoa Peranakan yang lambat laun berkembang di Tangerang. Mereka membuka perkebunan tebu dan persawahan.
Sejarawan Mona Lohanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menambahkan, kedatangan orang Tionghoa di sekitar Tangerang dan Indonesia terbagi dalam beberapa gelombang yang terjadi pada dinasti yang berbeda jauh sebelum kedatangan orang Eropa.
Sebutan Cina Benteng, lanjutnya, baru muncul setelah Belanda hadir di Batavia. Sebutan itu berasal dari keberadaan komunitas Tionghoa Peranakan yang bermukim di dekat Benteng Kompeni. ”Dari situ ada sebutan Cina Benteng sampai sekarang,” katanya.
Mona yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng menambahkan, masyarakat Cina Benteng sendiri terbagi dua. Ada yang disebut warga udik, ada yang warga perkotaan. ”Kami di Tangerang kota menyebut warga Cina Benteng di Cukang Galih, Legok, dan pedalaman lainnya sebagai orang udik,” ujar Mona.
Masyarakat Cina Benteng baik di udik maupun perkotaan sama-sama berakulturasi secara alami selama berabad-abad dengan budaya setempat. Hasilnya, unsur budaya Tionghoa Peranakan mewarnai budaya Betawi dan sebaliknya.
Cina Benteng juga memberi warna dalam toponimi (asal-usul penamaan tempat). Mona Lohanda bercerita, salah seorang guru sekolah dasarnya yang asli Betawi pernah berkisah, nama Karawaci berasal dari istilah Kurawa Cina (bala tentara Tionghoa).
”Mungkin itu berdasarkan ingatan kolektif masyarakat waktu terjadi gerombolan Tionghoa Peranakan yang melakukan keributan dan memicu pembantaian Tionghoa di Batavia 1740,” ujar Mona.
Hubungan harmonis Cina Benteng dan masyarakat setempat juga mengakar sejak lama. Sultan Banten, misalnya, memberi gelar Tubagus kepada Encek Ban Cut, pendiri Menara Masjid Banten, dan beberapa keluarga Tionghoa Peranakan. Sampai sekarang, gelar Tubagus masih dipakai beberapa keluarga Tionghoa Peranakan keturunan Encek Ban Cut.
Jadi, sungguh ironis jika masih ada yang menganggap Cina Benteng sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04355349/bersatu.dalam.gambang.kromong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar