Jumat, 14 Mei 2010

haa iki Mata Hari

Aku Mata Hari 8
Jumat, 14 Mei 2010 | 03:22 WIB

Remy Sylado

Dengan menjadi siswa di sekolah itu aku berharap bisa cepat rampung masa belajarku, lalu segera mendapat pekerjaan sebagai onderwijzeres, setidaknya untuk menolong diriku sendiri, berhubung usaha ayahku sudah gulungtikar, dan ayahku cuek apakah besok atau lusa bakal datang air bah melanda bumi.
Sekolahku ini di Leiden. Di kota ini banyak sarjananya yang menjadi pakar bidang antropologi, hukum, kebudayaan, dan bahasa tentang Indonesia. Guru yang aku bilang norak itu pernah bercerita mengenai pamannya, salah seorang ahli Indonesia yang menulis buku tentang suku bangsa berkulit kuning dan bermata sipit di Sulawesi Utara, tapi aku tidak tertarik pada ceritanya itu.
Aku tidak memperhatikan omongannya karena, sekali lagi, aku tidak suka padanya. Jadi, semua cerita bagus-bagus pun yang dia coba ungkapkan untuk menunjukkan kesungguhannya bersupel-supel dan berkarib-karib denganku, seperti sekarang mengajak aku berjalan-jalan di pantai Scheveningen barat kota Den Haag, rasa-rasanya luput dari keharusan sikapku untuk memberi apresiasi semadyanya.
Minggu hari ini, ketika hampir sore, dia masih sibuk memohon-mohon padaku supaya mau duduk di pasir pantai menunggu matahari terbenam di garis laut depan sana. Aku gelisah, dan gusar, sebab pada musim zomer, matahari masih akan nampak sampai jam 21.00. Artinya, dia mengajak aku duduk di pasir pantai—dengan sebungkus speculaas tanpa secangkir kopi—selama tiga jam lagi baru kami pulang. Sungguh absurd untuk suatu aksi yang tidak produktif. Aku rasa, bahkan Nabi Ibrahim pun takkan sabar menunggu begini lamanya untuk riwayat sebuah matahari yang akan pamit pada tanah Belanda.
Aku coba kasih alasan yang nalar, bahwa aku letih, penat, dan mengantuk.
Dia malah menyanyi, maunya meninabobo, dan aku makin jangar, judeg, sebab suaranya cumengkling kayak babi di­sembelih. Celakanya dia menyanyi sampai habis tiga ulangan. Lagunya De Vroolijke Jongen ciptaan Kallenbach.)
Terpaksa aku berpura-pura senang mendengar nyanyiannya.
Untuk sementara aku tidak merasa perlu mencamkan kata-kata dalam lagu itu. Padahal lagu itu sangat alkitabiah.
Aku bilang padanya, ”Kamu pintar menyanyi.”
Astaga, dia percaya pada pujian palsuku, tidak tahu bahwa sebetulnya kupingku ngilu, dan rasanya aku ingin berak.
Katanya bangga menanggapi pujianku, ”Beberapa tahun lalu aku sempat belajar musik dari Van ’t Kruys.”)
”O ya?” Aku membuat diriku seperti heran terkagum-kagum sembari tidak peduli pada nama yang disebutnya itu. ”Menarik sekali.”
Di luar dugaanku, dia malah menjadi seperti pandir menggarami laut. Sambil menjemput tanganku dan menaruhnya di depan mulutnya, dia berkata, ”Oh, aku sudah mengira kamu akan berkata begitu.”
”Apa?” Aku menarik kembali tanganku. Rasanya aku menjadi gugup. Kuatir kalau-kalau tindakanku keliru. ”Apakah kata yang aku ucapkan itu salah?”
”Oh, tidak, tidak, Schat,” katanya sibuk, menarik lagi tanganku, menaruh di depan dadanya.
Aduh, aku makin gugup, dia sebut aku schat, kosakata bahasa Belanda serapan Jerman yang aslinya berarti ’uang’ tapi kini berarti ’kekasih’ atau ’jantunghati’.
Di saat aku bingung, teringa-inga oleh sebutan itu, aku pun heran betapa demikian cepatnya aku berubah, telah terpincut dengannya.
Apakah aku tersihir?
Naga-naganya bukan.
Niscaya ini asamgaram kehidupan yang sangat alami terjadi dalam diri sepasang anak manusia yang terjauhkan dari kerumunan orang-orang. Hanya dia dan aku di sini. Dan dalam realitas hanya satu perempuan dan satu lelaki yang berada di pinggir pantai terpercik-percik tempiasan riak air laut, memang suasananya menjadi sangat terdukung untuk melakukan hal- hal tanpa rencana, dan selanjutnya berlanjut dengan serba impromptu.
9) Pieter Kallenbach, direktur Stedelijk Muziekschool dan organis Katedral St. Jan, Den Bosch, 1896
10) Marius Hendrik van ’t Kruys, komponis, dirigen, bekerja di Rotterdam, Groningen, berlatar Konin- klijk Haagsche Muziekschool, 1897

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/14/03222726/aku.mata.hari.8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar