Selasa, 11 Mei 2010

haa iki Mata Hari 6

Aku Mata Hari 6
Selasa, 11 Mei 2010 | 02:59 WIB
Remy Sylado
Dengan suamiku, John Rudolph MacLeod, aku mengalami hidup yang benar-benar nyata, tidak seperti dalam dambaan dan mimpi masa kanak-kanak. Ketika aku mengatakan tentang ”hidup yang benar-benar nyata”, dengannya aku bermaksud menerangkan dengan kalimat yang singkat dan sederhana, bahwa berkeluarga, yaitu menjadi orangtua dengan dua orang anak di dalam sebuah rumah, memang merupakan suatu pilihan yang berat. Dalam tiga minggu saja usia perkawinanku, aku sudah merasa kuatir tidak akan sanggup melanjutkan langkah kakiku ke depan sana.
Agaknya itu yang aku maksudkan dengan rasan-rasan: aku bisa lebih cepat berubah sebelum zaman bergeser.
Padahal, sebelum disandingkan sebagai mempelai, aku begitu bangga, merasa aku telah tiba di gerbang surga, disambut oleh malaikat-malaikat. Saat itu aku memandang John Rudolph MacLeod sebagai pahlawan yang lebih dari Robin Hood. Kumisnya yang ketel, terpuntir ke atas, persis dengan tokoh wayang wong yang aku kenal di kemudian hari, Gototkoco.
Sewaktu aku bertemu dengannya untuk pertama kali, setelah aku menjawab iklannya di surat kabar, dan dia datang menemuiku, aku sangat terkesan oleh kumisnya itu. Cara dia bicara pun termasuk menarik. Dia bercakap bahasa Belanda yang sangat tertib, bahasa Belanda yang baik dan benar, atau istilah resminya Algemeen Beschaafd Nederlands, sehingga ayahku pun menaruh hormat padanya.
Ketika aku menyampaikan kepada ayahku, bahwa aku ingin kawin dengan opsir ini, lebih dulu Ayah mendelik, tapi kemudian mengerling dan menguap, lantas berkata enteng kepadaku dengan bahasa Fries:
”Ik bin de baas, mar ik doch wat myn wiif seit.”)
Aku heran, terkesima, kenapa Ayah bilang begitu. Apakah Ayah mengira dan melihat seakan-akan Ibu ada di hadapannya?
Mungkin juga ada penyesalan tersembunyi di balik ungkapan Ayah itu melihat hal yang nyata bahwa istrinya sudah tiada, dan sifat-sifat buruknya—dari pandangan umum Barat yang diserap dari ajaran gereja, tentang menomerduakan kodrat perempuan dengan akibat-akibat kecenderungan negatif dalam diri lelaki—telah mengantar istrinya lebih cepat pulang menuju ke rahmatullah.
Ibuku wafat ketika aku berusia 14 tahun, bersamaan dengan saat-saat getaran badani mendambakan lelaki dalam imajinasi sekitar wortel atau kentang. Ibu tidak tahan didera geram oleh tenahak Ayah. Ayah merasa sangat terhina karena usahanya membuat topi sudah di tepian bangkrut, terkalahkan oleh saingan topi-topi pabrikan yang diimpor dari Jerman, Prancis, bahkan Amerika yang lebih bagus. Dan, apabila bangkit rasa marah karena getirnya, Ayah memilih mabuk, lantas ujungnya gampang main tangan terhadap Ibu. Ibu sendiri terlalu nrimo—ini sifat-sifat Jawa dalam kepribadiannya—sehingga dia kurang berani untuk menjadi tegas terhadap Ayah.
Mauku, kalau Ibu bisa tegas, maka Ibu harus melawan Ayah, yang selain karena seenak udel, juga lembek menghadapi nasibnya. Menurutku, lelaki yang mencari pelepasan dengan minum sampai mabuk, sebetulnya lelaki yang lembek, tidak tegar menghadapi nasib. Padahal nasib tidaklah permanen. Nasib harus dilawan dengan tindakan kreatif. Tapi Ibu pun keliru, tidak mencoba melawan. Seakan-akan nasib itu suratantangan. Seakan-akan itu urusan takdir.
Aku sering gregetan melihat Ibu mengalah. Rasanya kalau aku jadi Ibu, dan berhadapan dengan suami seperti Ayah, aku akan ajak dia berkelahi di atas ring tinju, lantas sebelum aba- aba aku akan langsung memukulnya tanpa jeda, lalu menendang selangkangannya, kena wortelnya atau kentangnya, biar dia nyaho, biar dia kapok.
Dengan anganan itu aku mau bilang tidak peduli pada tradisi Barat yang terjaga sampai saat ini, menaruh perempuan sebagai pihak nomer dua. Dalam tradisi Barat tersebut, lelaki memang dikatakan sebagai kepala rumahtangga—begitu moral gereja dibaca bangsa-bangsa Barat dari surat injili St Paul)—sehingga selama berabad-abad perempuan hanya menjadi ’pelengkap’ lelaki: obyek karikatur dalam teater, musik, senirupa.
5) Aku kepala di sini, tapi aku manut apa kata istriku
6) 1 Korintus 11:3.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/11/02594411/aku.mata.hari.6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar