Selasa, 18 Mei 2010

haa iki Mata Hari 11

AKU MATA HARI
Senin, 17 Mei 2010 | 13:30 WIB

Remy Sylado

Itu membuatku kesal. Aku tak suka. Berkembang simpul dalam pikiranku, bahwa dia tidak menaruh hormat kepadaku sebagai istrinya. Kalau simpul ini benar, demi ibuku, aku akan melawannya.
”Ada apa?” kataku, mengulang pertanyaan pertama, dan aku rasa nada kalimat ini cukup kentara sekali mewakili rasa ingin melawan.
”Aku mau bertanya,” kata dia.
”Aku menunggu,” jawabku.
Dia bukan bertanya, tapi menyelidik, dan aku benci caranya ini.
”Kamu tidak perawan,” katanya.
Aku tersentak, ada rasa gamang, tapi juga panas dibakar marah. Karenanya aku memilih tidak menjawab. Dia mendesak. Dia merasa telah menaklukkan aku.
”Sejak umur berapa kamu tidak perawan?”
Aku tak menjawab.
Dia mendesak. ”Well?”
Terasa betul adverbia yang diucapkannya itu bertujuan menekan.
Aku mendidih. Maka aku kembalikan pertanyaannya. ”Well apa?”
”Kenapa kamu tidak bilang: kamu tidak perawan?”
”Kenapa kamu tidak bertanya?”
”Sekarang aku bertanya.”
”Apa soal perawan dan tidak-perawan menjadi masalah buatmu?”
Dia terkesiap pada pertanyaanku itu. Dengan garang dia menjawab, ”O, ya, tentu. Aku berpegang pada norma gerejawi Inggris. Aku lahir pada tahun 1855, dan itu empat tahun lebih awal dari tahun terbitnya buku Charles Darwin On the Origin of Species by Natural Selection.”
Aku gusar. ”Lantas apa hubungannya?”
Dia geram. ”Kamu tidak paham?”
Saking jengkel, aku menghardik, ”Tidak.”
”Nah, biar aku terangkan,” katanya, berdiri dari sofa, lalu menuding dengan cara yang lazim untuk menekan. ”Sejak 40 tahun lalu peradaban manusia sudah membedakan antara monyet dengan manusia. Manusia dibedakan dengan monyet karena hymen, selaput daranya. Monyet—yang diantarai ’missing link’ dengan manusia—tidak punya hymen. Hanya manusialah yang punya hymen. Manusia punya sejarah, monyet tidak. Maka, atas dasar itu, kalau ada manusia yang tidak punya hymen, pantaslah manusia itu disamakan dengan monyet.”
Aku naik pitam. ”Lantas?”
Jawabnya keras, ”Aku kecewa sudah mengawini perempuan 18 tahun yang bukan perawan.”
”Terus, apa maumu,” kataku keras juga, sambil bangkit dari kursi, lantas berdiri berhadap- hadapan. ”Apa itu berarti kamu mau menceraikan aku? Bilaaang, Oom Ruud!”
Dia tersentak, kaget karena aku menyebutnya ’oom’, berarti menuakan dia. Dia pun tidak menyangka aku menjadi demikian garang, dan jika aku menjadi garang demikian, aku bisa melakukan perlawanan-perlawanan mulut—sesuai kodratku— dengan suara lantang, lebih lantang dari suara aktris-aktris dungu di Schouwburg) memainkan sandiwara-sandiwara Joss van den Vondel.)
Saking kagetnya pada suara lantangku, dia menganga, dan ajaib kumisnya yang tebal dengan ujungnya melintir ke atas, tiba-tiba melorot ke bawah seperti ekor tikus.
Sementara itu, karena suara lantangku itu, saudara perempuan Ruud muncul di sini, barangkali akan menengahi.
Aku tak hirau itu. Malahan suaraku makin menjadi lantang.
”Silakan bilang, mumpung ada kakakmu di sini, bahwa kamu mau menceraikan perempuan 18 tahun yang sama dengan monyet karena tidak perawan,” kataku, rasanya aku benar-benar terserang bludrek. ”Kalau ya, sekarang juga aku tinggalkan rumah kakakmu ini.”
Saudara perempuannya itu malah merangkul aku, menyabar-nyabarkan aku. ”Sudahlah, Margaretha, sabar.”
Aku meronta. ”Tidak. Oom Ruud menghina aku,” kataku.
”Persetan,” kata Ruud sengak. ”Aku bertanya itu, sebab itu hakku.”
”Itu di luar sopansantun,” kataku berang. ”Kamu samakan aku dengan monyet. Kapan kamu terakhir bercermin? Justru kamu yang monyet asli. Kamu monyet tua, Oom Ruud.”


11) gedung pertunjukan drama
12) penyair dan pedrama Belanda, menulis dengan gaya Sophocles tapi kemudian disebut-sebut sebagai Shakespeare-nya Belanda

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/17/1330590/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar