Sabtu, 29 Mei 2010

haa iki AKU MATA HARI 22

AKU MATA HARI
Sabtu, 29 Mei 2010 | 02:45 WIB


Remy Sylado

jij: kowe-sampeyan-panjenengan
oorzaak: jalaran-amarga- amargi
geboren: lair-wetu-wiyos
lelijk: elek-ala-awon

 
Kemudian aku pun sudah bisa merangkaikan makna-makna dalam berbagai kata, misalnya:
jou buik, kasarnya wetengmu, halusnya padharan panjenengan
onzin, kasarnya sing ora-ora, halusnya ingkang boten-boten
praten over, kasarnya dak omongi, halusnya kula wicanteni
geantwoord, kasarnya njawabe, halusnya wangsulanipun
met een bedoeling, kasarnya dikarepake, halusnya dipun
kersakaken.
Dalam empat bulan aku sudah fasih bercakap krama hinggil.

11

Ruud kerap meninggalkan aku dan Norman John karena tugasnya di luar Ambarawa.
Apabila dia kembali ke rumah, lagi-lagi dia muncul seperti singa lapar.
Aku pernah berpikir, bagaimana andainya kalau tangan dan kakinya dikungkung rantai saja, supaya bila dia bercinta dengan aku, dia akan sulit bergerak-gerak. Aku berpikir begini karena mengingat lukisan Peter Paul Ruben ”Cimon dan Pero” di Rijksmuseum: tentang lelaki botak terbelenggu yang sedang bercinta dengan seorang perempuan. Bagus sekali lukisan itu menafsirkan kekonyolan. Lelaki di situ seakan-akan sebagai pecundang dungu.
Masalahnya, apakah aku mampu melaksanakan pikiran itu?
Terusterang, aku sendiri punya masalah dengan tubuhku. Aku sangat membutuhkan tubuh lelaki. Hanya lelaki yang bisa menyempurnakan kodrat kewanitaanku. Sementara, aku tahu pula, kejantanan lelaki justru dihubungkan dengan naluri-naluri hewaninya yang menonjol, menggoda kesalehan lebih dari semua musik primitif yang bahkan membikin aku, perempuan, keranjingan untuk menari-nari.
Aduh, sumpah mampus disambar geledeg, demi ibuku, aku takkan berkata begitu.
Aku membutuhkan lelaki seperti mawar-mawar Prancis di musim panas mengharapkan hujan.
Aku bukanlah bakung di lembah-lembah Portugal yang bisa tumbuh di atas batu tanpa hujan.
Untuk satu perkara ini, aku mau jadi cengeng, meminta- minta, bukan dengan ucapan melainkan dengan perilaku.
Dasarnya adalah cinta. Istri harus mencintai suaminya. Tak usah pura-pura seperti biasanya perempuan. Tentu saja aku tidak berkata begitu pada lelaki seterbuka ini. Dalam kenyataannya aku masih terkurung oleh norma-norma konyol yang mesti aku lawan.
Kalau saja aku bisa kembali lagi ke rahim Ibu—dengan telanjang seperti ketika aku keluar, sebagaimana angan-anganku selama ini—aku mau lahir sebagai perempuan yang jujur, tidak pura-pura, tidak munafik menerima nafsu yang mengawal tubuh­ku. Betapa sering, atas nama norma, manusia hidup dikawal dusta. Kenapa harus pura-pura menahan nafsu kalau nafsu merupakan bagian dari keindahan kodrati manusia?
Itulah pengertian jujur di balik pernyataanku tentang masalah dalam tubuhku.
Atas dasar itu pula, ketika Ruud mengajak bercinta dan dengannya dia bertindak awet sebagai singa lapar, maka aku toh menerima tanpa mengajukan pilihan. Lama-lama juga aku terbiasa. Pepatah bahasa Indonesia mendukung fitrah ini: alah bisa karena biasa. Dan, aku pun menemukan peribahasa Jawa yang laras tentang arti terbiasa tersebut: tresno jalaran kulino.
Aku makin yakin langkah dalam hidupku yang tengah berlangsung ini sama bagai sebuah teater, yaitu hadirnya pertanyaan dramatik untuk menjawab arah klimaks: apa yang akan terjadi selanjutnya?
Kecuali kematian yang sudah pasti di ujung hidup, dan belum mau aku bahas dengan akalku di usia muda begini, pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam diriku pada jam-jam bergerak di besok-lusa-tulat-tubin, memang sebuah misteri mengasyikkan.
Pertanyaan itu terjawab tanpa sengaja ketika aku hamil lagi untuk anak kedua. Dan, aduh sontoloyo, jawaban itu membuatku sangat terpukul, kecewa berat, dan marah besar.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/29/02451131/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar