Minggu, 30 Mei 2010

haa iki AKU MATA HARI 23

AKU MATA HARI
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:45 WIB

Di luar akal sehat, di saat harusnya Ruud sukacita karena akan punya anak lagi dari istri yang mencintainya, malah tanpa rasa kagok atau canggung, bisa- bisanya dia mengajukan kemauannya—bukan usul, bukan juga minta izin, tapi maklumat— bahwa dia ingin memanfaatkan Nyai Kidhal untuk semata-mata bisa bersetubuh dalam masa berpantang supaya tidak mengganggu kehamilanku.
Bukan alang kepalang marahku sampai-sampai cangkir kopi yang baru aku aduk gula terpaksa aku taruh di atas meja dengan cara melepasnya.
”Apa kamu sudah gila?” kataku.
”Hei! Kamu sendiri yang pernah minta aku supaya jujur. Nah, sekarang aku jujur.”
”Tapi itu gila,” kataku berang.
”Kenapa gila?” katanya naif. ”Aku pikir ini realistis.”
Sesaat mulutku terkatup. Aku tidak bisa bicara. Aku tidak bisa terima. Mana mungkin aku menerima ide anjing begini? Anjingnya pun anjing gila.
Walaupun aku berpikir harus jujur, dan Ruud memang telah bertindak jujur, tidak pura-pura, tidak munafik, tapi sumpah demi ibuku, pikirannya itu samasekali ngawur.
Sertamerta pikiranku terganggu oleh ingatan kata-kata Nyai Kidhal tentang nanas. Betapa nantinya Ruud akan tergila-gila pada kemaluan perempuan yang diibaratkan sebagai ladang yang kering dan bukan sawah yang basah. Lalu, betapa Nyai Kidhal akan memandang aku sebagai perempuan yang kalah dan tidak berguna. Bagaimana kalau ternyata gambaran yang pernah melintas dalam lamunku soal perempuan yang panas itu ternyata harus ditakar dari bawaan kemaluannya yang seret tidak becek?
Ya Tuhan—aku sebut Dia dalam rasa skeptis—kenapa pikiranku jadi simpangsiur begini?
Didesain bagaimana otak Ruud sehingga dia mengatakan pilihannya itu realistis?
Dari adonan apa hati Ruud dibuat sehingga dia mengira yang ngawur itu benar?
Aku harus melawannya. Hitungannya: bahkan sampai titik darah penghabisan.
”Realistis apa itu?” kataku. ”Itu sepenuhnya gila. Sakit jiwa.”
”Tunggu,” katanya.
”Tidak,” kataku. ”Kalau kamu bermaksud begitu, aku memilih melahirkan anakmu tanpa ayahnya.”
Aku memang tidak main-main. Dan aku yakin justru ini batas paling realistis dari nyala emosi yang sedang membakar kewanitaanku. Apakah lelaki tidak pernah insyaf bahwa keistimewaan wanita terletak pada emosinya?
Agaknya dia termakan pada ancamanku. Dia membujuk.
”Dengar, Margaretha,” katanya, lunak, tapi mencurigakan juga. ”Yang aku maksudkan realistis ini, adalah seluruhnya demi kamu juga, supaya konsentrasimu atas kehamilanmu itu tidak terganggu.”
Aku terpaksa mencak-mencak dengan suara yang tidak terkendali volumenya.
”Bagaimana bisa kamu bilang begitu? Pikiran apa yang ada di otakmu itu? Mungkin kamu mengira, kamu tidak mengganggu aku secara fisik, tapi dengar, kamu yang harus dengar, dan dengar baik-baik, bahwa kamu pasti sudah mengganggu aku secara mental. Kamu merusak jiwaku. Nah, dengar, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang pernah berpikir gila begini.”
Ujug-ujug dia membantah, konyol, seperti anak-anak.
”Ada,” katanya. ”Nabi Ibrahim melakukan itu dengan Hagar, pembantu Sarah, dan Sarah menerima, bahkan yang menyarankan kepada Ibrahim. Baca saja Genesis.”)
Aku kaget, kok dia punya kata-kata seperti itu.
42) kitab Torah yang pertama

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04453369/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar