Sabtu, 15 Mei 2010

haa iki Mata Hari 9

Aku Mata Hari (9)
Sabtu, 15 Mei 2010 | 05:16 WIB

Remy Sylado

Sebelum aku sanggup berpikir apa-apa, ketika gugupku itu berubah menjadi gemetar, dia pun telah memeluk aku dengan gemetar yang sama, lantas mencium bibirku.
Ya ampun, tiba-tiba aku telah masuk dalam suatu keasyikan yang ajaib.
Setelah itu semua ’teori’ yang telah aku reka dalam imajinasiku tentang kehebatan kumis, buyar total, tak berlaku lagi. Aku menikmati permainan burung merpati ini dengan gairah yang masyuk. Makin lama makin memabukkan. Hanyut bersama ekstase irama centang-perenang.
Setelah itu, satu bulan dari sekarang, ketika kesenangan ini menjadi kebiasaan dan kebiasaan menjadi keharusan, menjelang usia 16 tahun aku merasa tidak bisa lagi mempertahankan hymen di vaginaku untuk tetap bernama perawan.
Aku sudah melakukan sesuatu yang harus dikatakan sebagai ikhtiar kerjasama kemanusiaan lahir-batin.
Lantas bagaimana?
Dia hilang.
Aku merana.
Selanjutnya aku mesti belajar untuk percaya akan rumitnya makna takdir. Tapi dalam kehidupanku ini tersedia dua topeng untuk dikenakan: satu untuk lakon tragedi, satunya lagi untuk lakon komedi. Dengannya aku ingin berkata, suka atau tidak suka, aku harus mengalami adegan pelik kehidupan, menerima dengan ikhlas akan kenyataan sebuah paradoks dalam sepasang kecenderungan tak terelakkan atas langkah-langkahku menembusi misteri hari depan.
Pertama, aku memang merasa disakiti oleh lelaki—sebab dia sudah hilang, entah menghilang entah terhilang entah dihilangkan—tapi kedua aku yakin bahwa aku tetap membutuhkan lelaki, selain dia, untuk menyempurnakan harkat kewanitaanku.

4

Aku kawin dengan John Rudolph MacLeod pada hari bagus anno 1895.
Melalui perkawinan ini aku yakin besok-lusa handaitaulan akan memanggilku secara Inggris: Mrs MacLeod.
Aku sendiri menyebut suamiku secara Belanda: Ruud.
Setelah aku kawin dengan Ruud, dengan upacara resmi ke­militeran—dan itu berarti kalau perkawinan ini tidak langgeng karena alasan tertentu, maka perceraiannya pun nanti harus resmi secara ofisial—arkian kami siap-siap berangkat ke Indonesia.
Tapi, ternyata keberangkatan itu tertunda. Terjadi perubahan jadwal karena situasi di Indonesia pada tahun ini—ketika Gubernur Jendral di Batavia, Jhr. C.H.A. van der Wijck sedang repot memikirkan Aceh, sementara keahlian Ruud diperlukan untuk bidang zeni di Jawa Timur, bersamaan kabar selentingan tentang waham orang Belanda di Indonesia terhadap orang Inggris—membuat kami harus menunggu dulu di Amsterdam sampai aku melahirkan. Di kota ini kami tinggal di rumah saudara perempuan Ruud, tak terlalu jauh dari Rijksmuseum di mana beberapa kali aku ke situ, berdiri kagum mengamati patung perunggu Dewa Siwa berjudul Shiva Koning van de Dansers.
Satu hal di luar mauku, di rumah saudara perempuan Ruud ini aku harus mengaku, merupakan tempat awal mulanya timbul pikiran cemar terhadap sembarang lelaki. Maksudku, pandangan soal cemar adalah menurut pandangan orang, bukan aku. Yang cemar bagi orang lain, bisa luhur bagiku. Aku kira ini kebenaran hukum alam. Bahwa selalu persoalan nilai dalam kehidupan rohani sangat ditentukan dari pihak mana pandangan terhadapnya ditimbang. Hubungannya adalah ungkapan yang bisa mewakili pengertian asasi tentang kebenaran, yaitu persoalan rasa yang paling tepat dikaji dalam bahasa Indonesia—satu-satunya bahasa yang aku cintai, terbukti dari pilihan namaku Mata Hari—dalam eufuisme buatanku sendiri: ”kebenaran bisa direka melalui pembenaran.”
Yang aku pikirkan, jika ada kebenaran obyektif tentang cemar, maka kosokbalinya harus direka oleh kemampuan akal untuk membalikkan persoalannya dengan menggiring orang supaya ragu terhadapnya, lantas percaya pada kebenaran subyektif yang baru. Artinya, kalau yang aku lakukan nanti tergolong cemar bagi orang lain, maka aku harus sanggup mengubahnya menjadi bukan cemar melalui prinsip yang aku reka untuk diterima orang-orang sebagai nilai kebenaran yang baru.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/15/05162513/aku.mata.hari.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar