Sabtu, 08 Mei 2010

haa iki cerbung Mata Hari 3

AKU MATA HARI
Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:04 WIB

Remy Sylado


Aku menjadi begini karena suamiku MacLeod yang aku panggil Ruud. Dialah yang mendorong aku berpikir cemar. Dan, setelah itu, aku membuktikan, bahwa tidak ada lelaki yang begitu tangguh untuk sanggup bertahan terhadap godaan wanita, ketika mereka harus menerima arti kehidupan nyata, bahwa tidak akan ada keindahan paripurna atas naluri lelaki selain di dalam vagina. Di situ aku mencatat dalam ingatan, sejumlah pejabat tinggi negara dan para perwira militer yang biasa berdiri di depan rakyat dengan memasang muka-muka kudus tapi di dalam otaknya tersembunyi pikiran-pikiran kudis atas semata-mata sensasi ranjang.
Aku sekarang berada di penjara Saint-Lazare karena tuduhan berkhianat kepada Prancis untuk kepentingan Jerman. Padahal aku tidak peduli soal kebangsaan mereka. Yang aku lakukan selama ini, menurut kata hatiku, adalah kiprah kemanusiaan. Artinya, kalau aku memilih kata ’kemanusiaan’, maka yang mukim dalam pikiranku adalah suatu pengertian asasi tindakan etis tentang menjunjung fitrah manusia lebih dari sekadar mempersoalkan batas negara dengan penduduknya yang disebut bangsa, dan semangatnya yang disebut ’kebangsaan’.
Nyata terlihat saat ini, bahwa karena alasan kebangsaan itulah, yang tidak sama antara satu dengan lainnya, maka manusia-manusia berperang. Tapi dengan caraku, mengejawantah keindahan dalam seni-pertunjukan, aku menghayati perdamaian tanpa mempersoalkan batas kebangsaan tersebut.
Di atas alasan ini, aku kira ikhtiarku dan ikhtiar siapapun yang beralas pada kemanusiaan, seharusnya tidak boleh dibilang sebagai tindakan khianat, tapi nyata harus ditempatkan sebagai tindakan kemanusiaan. Itu sebabnya aku marah benar pada tuduhan pihak Prancis yang mengatakan aku pengkhianat.
Celakanya, aku menyumpahi Pierre Bouchardon, kapten Prancis yang kerempeng dengan mata seperti manik-manik, karena penampilannya yang bebal, tidak menghargai pikiranku tentang harkat kemanusiaan. Saban-saban, ketika dia menginterogasi aku sebagai seseorang dengan latar perbedaan kebangsaan, dia menekan aku dengan rasa benci, menyuruh aku mengakui diriku mata-mata Jerman dengan kode H 21. Jika aku bilang ”tidak”, dia malah bilang ”ya”.
Lebih menjengkelkan lagi, pertanyaan yang sudah aku jawab, masih diulang-ulang lagi, terus, berkali-kali, sampai hatiku berasap, kepalaku menyala, lantas dia hanya senyam-senyum njelehi dengan kebiasaan menggigit-gigit jari telunjuknya.
Aku sudah dua bulan di penjara Saint-Lazare ini, dan dua bulan di sini serasa seperti dua abad di neraka.
Perasaan paling menyiksa dalam diriku sebagai wanita berdarah Indonesia, adalah kebiasaan Indonesia mandi dua kali sehari yang tidak terpenuhi di penjara Prancis ini. Di penjara ini tidak ada kamar mandi. Air untuk basuh-basuh hanya tersedia satu mangkok dalam seminggu, dan harus dicukup-cukupkan untuk menyeka muka dan badan lainnya. Aku kuatir dengan ini aku telah menjadi tua sebelum waktunya.
Aku ditangkap di atas kereta dari Spanyol ke Prancis pada tanggal 13 Februari 1917 ketika salju sedang memutihkan bumi di luar sana, mula-mula dibawa ke Élysées Palace Hotel, kemudian ke tahanan Saint-Denis, dan akhirnya di sini penjara Saint-Lazare.
Duduk soalnya dimulai dari awal pecah Perang Dunia I, ketika aku di Berlin menari eksotik yang aku gali dari natya di dinding Candi Borobudur, sebagai cara menjadi medium roh moyang ibuku, aku didekati intelijen Jerman, diperkenalkan pada lesbian Elsbeth Schragmüller, ditawari imbalan yang lebih dari honorarium satu repertoar tari. Untuk itu aku dikobari adorasi semangat kebangsaan dengan mengingatkan bahwa aku Belanda, dan dalam lagu kebangsaan Belanda memang dimulai dari pernyataan darah bangsa Belanda adalah Jerman: ”Wilhelmus van Nassouwe ben ick van Duitschen bloet.”) Tugasku, memata-matai Prancis demi Jerman.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/08/03042669/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar