Minggu, 13 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari 37

Aku Mata Hari
Minggu, 13 Juni 2010 | 02:55 WIB

Oleh Remy Sylado
19
Lagi aku mendapat pengetahuan dari pengalaman, yaitu peribahasa ”habis gelap terbitlah terang”. Maksudku, perasaan tentang batin yang tadinya kepalang terjauhkan karena perilaku-perilaku fiil Ruud dilatari oleh gagasan-gagasan gilanya itu, barangkali kini bisa dibangun kembali—katakanlah semacam restorasi terhadap bangunan yang rusak—dengan gairah yang baru.
Ini bukan berarti tanpa ganjalan di hati.
Bagaimanapun, masalah yang masih sipongang di hatiku, adalah pertanyaan dari lembar masa lampau: adakah sebuah pernyataan verbal dari Ruud yang bisa aku dengar dari mulutnya menyatakan satu-satunya kata yang menurutku sederhana, tapi akan menjadi indah jika dilafazkan, dan bisa membangun rasa damai di rumah?
Masalahnya, Ruud tidak pernah mengatakan ”sorry”, padahal dia tahu betul makna sosial perkataan ini, sebab kata ini adalah bahasa ibunya.
Sekarang aku ingin mendengar kesungguhannya melafazkan kata itu.
Mampukah dia?
Mungkin.
Maukah dia?
Entah.
Kalau dia mau, itu bagus.
Tapi, kalau toh dia mengucapkan itu, dan pikirannya tetap temangsang pada ide gilanya, itu tidak bagus.
Kenapa aku menjadi begini jelimet?
Aku makin kenal suamiku. Ruud seorang yang ruwet. Kalau bisa dicarikan padanan otaknya dengan benda-benda tertentu, aku ingin menyamakannya dengan ijuk yang hitam-hitam, tajam-tajam, kusut-kusut. Aku mengandaikan otak Ruud seperti ijuk yang kusut, tajam, dan hitam, sebab ijuk dari pohon enau yang telah dibuat tali oleh orang Indonesia—bahasa Jawanya disebut tali duk—pernah melukai tanganku karena tajam- tajamnya itu, waktu aku menimba air dari sumur di belakang rumah.
Nah, aku berharap Ruud bisa bilang ”sorry”, dan tidak lagi melukai hatiku. Luka di tangan karena tali ijuk, gampang sembuhnya, tapi luka di hati karena ide gila dari otak yang ruwet seperti ijuk, akan terus terbawa dalam ingatan sampai ke liang lahat. Setidaknya gagasan-gagasan cemar untuk membalas dendam—demikian aku pernah berkata dalam diamku—mungkin merupakan dampak darinya.
Aku tunggu pernyataan ”sorry” tersebut sampai besok, lusa, tulat, tubin, dan rasanya telingaku belum mendengar kata itu diucapkan, baik di malam hari sebelum tidur maupun di pagi hari setelah bangun. Masak, masih sama seperti dulu di Amsterdam?
Kendati begitu, memang dalam lima hari ini aku menjadi nyonya-rumah yang berdaulat. Cara Ruud memperhatikan aku, serasa seperti khadam istana mengabdi pada ratu. Aku sendiri pun belum melihat bagaimana Ratu Wilhelmina dilayani di istana musim panas Huis ten Bosch. Tapi aku rasa atensi Ruud padaku setelah aku minggat satu minggu, benar-benar mengejutkan, dan barangkali lebih absurd daripada kelakuan pandir hendak memetik bintang untuk giwang di kuping kekasih.
Aku kuatir, kalau-kalau pamrih di balik aksi ini nanti berbentur, lantas keadaannya malah bubrah, kacau, silang-selimpat.
Pokok soalnya, sekali lagi, aku belum dengar lewat telingaku Ruud mengucapkan kata ”sorry”. Sementara, aku kira ukuran kejantanan seorang suami yang seorang opsir, justru ditimbang dari kesungguhannya menyatakan ”sorry” kepada mitranya di ranjang yang diikat oleh perkawinan resmi secara militer.
Kali ini aku serius, harus mendengar Ruud menyatakan ”sorry”.
Malam ini, setelah menidurkan Norman John, aku duduk di depan rumah, dirangkul Ruud, memandang ke langit yang sebentar lagi akan dikunjungi purnama. Dalam keadaan begini, rasanya hatiku dirasuki kemenangan, tapi bukan kedamaian, dan entah bagaimana mengubahnya, lalu memeliharanya sebagai kebun bunga di ceruk sanubari.


59) Ratu Nederland 1890-1948
60) terletak di pinggiran Haagse Bos, didirikan oleh Permaisuri Amalia van Solms pada 1645, sekarang kediaman Ratu Beatrix

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/13/02551377/aku.mata.hari.37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar