Minggu, 27 Juni 2010

haa iki "Leadership" dan "Leaderless"

"Leadership" dan "Leaderless"
Sabtu, 26 Juni 2010 | 05:03 WIB
Andi Suruji
Saya diundang bicara di mana-mana. Saya menangkap adanya kegalauan, bahkan rasa pesimistis di kalangan anak muda melihat kehidupan bangsa kita. Memang banyak problem, tapi tetaplah optimistis. Jangan pernah patah semangat,” papar Jusuf Kalla, disambut tepuk tangan puluhan mahasiswa Indonesia di Universitas Curtin, Perth, Australia.
Wakil Presiden RI 2004-2009 yang kini Ketua Umum Palang Merah Indonesia itu medio Juni lalu berkunjung ke Australia. Selain bertemu mitranya dari Red Cross, ia juga memenuhi undangan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia untuk memberikan kuliah umum, ”JK Leadership”.
Mahasiswa itu datang dari berbagai jurusan di perguruan tinggi dan sejumlah kota. JK juga berceramah di Australian National University (ANU). Peserta di universitas terkemuka ini malah lebih banyak, sekitar 200 orang. Bahkan sejumlah dosen ANU yang spesialisasi kajiannya tentang Indonesia ikut mendengarkan kuliah JK dengan antusias. Pertanyaan umumnya menyangkut berbagai persoalan bangsa dan cara pemimpin mengatasinya.
JK tidak mengupas teori-teori ideal kepemimpinan. Sebagai pengusaha, ia malah lebih banyak memaparkan contoh konkret apa yang dilakukannya sejak masuk pemerintahan sebagai menteri sampai menjadi wakil presiden.
Peserta pun malah lebih banyak bertanya seputar peran dan kepemimpinan JK dalam upaya penyelesaian konflik di sejumlah daerah, seperti Ambon, Poso, dan Aceh. Begitu juga kepemimpinannya dalam penanganan bencana, terutama tsunami yang menghancurkan Aceh.
Intinya, pemimpin harus get things done, mengambil keputusan dan kebijakan, menggerakkan anak buah menjalankan perubahan ke arah yang lebih baik, mengambil risiko dan tanggung jawabnya, memonitor kebijakan untuk berjalan dengan baik, tidak menyalahkan anak buah.
”Kita harus akui begitu banyak problem. Karena itu, jangan hanya lihat sisi negatif suatu problem yang ada. Lihat juga sisi positifnya. Kalau melihat sisi positif, pasti ada optimisme. Kalau tetap optimis, bersemangat, yakinlah kita akan bisa mengurusi negara dan dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini,” katanya.
JK mengelaborasi, justru karena banyaknya problem itulah yang harus memompa semangat untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. ”Memang di sana sini ada kekurangan (dari cara penyelesaian yang ditempuh), tetapi buktinya kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Jangan-jangan kalau tidak ada problem, kita malah justru tidak bekerja keras dan tidak mampu mencapai pertumbuhan seperti ini,” paparnya.
Masalahnya, bagaimana kita memecahkan persoalan dan jalan mana yang dipilih untuk berkinerja lebih baik lagi. Di titik inilah diperlukan pemimpin yang benar-benar dapat memimpin rakyat keluar dari belitan permasalahan.
Dalam kondisi bangsa yang bergelut keluar dari begitu banyak problem, tentu diperlukan sistem yang baik dan pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang kuat. ”Jadi harus ada kombinasi antara sistem dan leadership. Tetapi, walaupun sistem belum baik, kalau pemimpinnya kuat, situasi dan kondisi tetap akan bisa diperbaiki,” katanya.
Sebaliknya, walaupun sistem sudah baik, kalau pemimpinnya tidak berkarakter kuat, bangsa ini juga jalan di tempat, tidak mencapai kemajuan berarti. ”Pemimpin itu, kan, adalah orang yang bersama kita semua menetapkan apa yang ingin dicapai. Pemimpin mengimplementasikan sistem dan menjaganya untuk berjalan,” katanya.
Nah, dalam menjalankan sistem untuk mencapai tujuan bersama itu, menurut JK, pemimpin jangan pernah mengorbankan anak buah, tetapi berilah motivasi, dan ambil tanggung jawabnya. ”Pada saatnya mengambil keputusan, pemimpin tidak bisa lagi berpikir apakah ini (keputusan yang harus diambil) baik untuk saya, tetapi apakah ini baik untuk bangsa. Harus begitu, kalau sudah baik untuk bangsa, jangan lagi pikirkan diri sendiri,” katanya.
JK mengingatkan, ada tiga sumber pemimpin, yakni birokrat, politisi, dan negarawan. Kalau birokrat, biasanya orientasinya cuma tahunan, politisi umumnya lima tahunan sesuai siklus orientasi politik dalam sistem nasional, sementara negarawan pasti berpikir jangka panjang, paling tidak untuk satu generasi. ”Tinggal pilih, mau dipimpin birokrat, politisi, atau negarawan?” katanya.
Mengenai tujuan bersama yang harus menjadi orientasi pemimpin, menurut JK, mesti sama tujuan bersama dalam berjuang, berperang dengan segala pengorbanan, dan akhirnya merdeka, yakni kemakmuran yang merata. Tanpa kemakmuran merata, bahaya. Itu berarti ada ketidakadilan. Padahal, ketidakadilan yang terus-menerus dilihat dan dirasakan oleh rakyat bisa memicu lahirnya konflik. Ya, konflik antarkelompok dan golongan, rakyat dan aparat, daerah dan provinsi, daerah dan pusat.
Nah, kalau konflik dalam arti luas kian banyak kita rasakan sekarang di negeri ini, berarti kita leaderless ya, Pak?

Sumber :  "Leadership" dan "Leaderless" Sabtu, 26 Juni 2010 | 05:03 WIB Andi Suruji Saya diundang bicara di mana-mana. Saya menangkap adanya kegalauan, bahkan rasa pesimistis di kalangan anak muda melihat kehidupan bangsa kita. Memang banyak problem, tapi tetaplah optimistis. Jangan pernah patah semangat,” papar Jusuf Kalla, disambut tepuk tangan puluhan mahasiswa Indonesia di Universitas Curtin, Perth, Australia. Wakil Presiden RI 2004-2009 yang kini Ketua Umum Palang Merah Indonesia itu medio Juni lalu berkunjung ke Australia. Selain bertemu mitranya dari Red Cross, ia juga memenuhi undangan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia untuk memberikan kuliah umum, ”JK Leadership”. Mahasiswa itu datang dari berbagai jurusan di perguruan tinggi dan sejumlah kota. JK juga berceramah di Australian National University (ANU). Peserta di universitas terkemuka ini malah lebih banyak, sekitar 200 orang. Bahkan sejumlah dosen ANU yang spesialisasi kajiannya tentang Indonesia ikut mendengarkan kuliah JK dengan antusias. Pertanyaan umumnya menyangkut berbagai persoalan bangsa dan cara pemimpin mengatasinya. JK tidak mengupas teori-teori ideal kepemimpinan. Sebagai pengusaha, ia malah lebih banyak memaparkan contoh konkret apa yang dilakukannya sejak masuk pemerintahan sebagai menteri sampai menjadi wakil presiden. Peserta pun malah lebih banyak bertanya seputar peran dan kepemimpinan JK dalam upaya penyelesaian konflik di sejumlah daerah, seperti Ambon, Poso, dan Aceh. Begitu juga kepemimpinannya dalam penanganan bencana, terutama tsunami yang menghancurkan Aceh. Intinya, pemimpin harus get things done, mengambil keputusan dan kebijakan, menggerakkan anak buah menjalankan perubahan ke arah yang lebih baik, mengambil risiko dan tanggung jawabnya, memonitor kebijakan untuk berjalan dengan baik, tidak menyalahkan anak buah. ”Kita harus akui begitu banyak problem. Karena itu, jangan hanya lihat sisi negatif suatu problem yang ada. Lihat juga sisi positifnya. Kalau melihat sisi positif, pasti ada optimisme. Kalau tetap optimis, bersemangat, yakinlah kita akan bisa mengurusi negara dan dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini,” katanya. JK mengelaborasi, justru karena banyaknya problem itulah yang harus memompa semangat untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. ”Memang di sana sini ada kekurangan (dari cara penyelesaian yang ditempuh), tetapi buktinya kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Jangan-jangan kalau tidak ada problem, kita malah justru tidak bekerja keras dan tidak mampu mencapai pertumbuhan seperti ini,” paparnya. Masalahnya, bagaimana kita memecahkan persoalan dan jalan mana yang dipilih untuk berkinerja lebih baik lagi. Di titik inilah diperlukan pemimpin yang benar-benar dapat memimpin rakyat keluar dari belitan permasalahan. Dalam kondisi bangsa yang bergelut keluar dari begitu banyak problem, tentu diperlukan sistem yang baik dan pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang kuat. ”Jadi harus ada kombinasi antara sistem dan leadership. Tetapi, walaupun sistem belum baik, kalau pemimpinnya kuat, situasi dan kondisi tetap akan bisa diperbaiki,” katanya. Sebaliknya, walaupun sistem sudah baik, kalau pemimpinnya tidak berkarakter kuat, bangsa ini juga jalan di tempat, tidak mencapai kemajuan berarti. ”Pemimpin itu, kan, adalah orang yang bersama kita semua menetapkan apa yang ingin dicapai. Pemimpin mengimplementasikan sistem dan menjaganya untuk berjalan,” katanya. Nah, dalam menjalankan sistem untuk mencapai tujuan bersama itu, menurut JK, pemimpin jangan pernah mengorbankan anak buah, tetapi berilah motivasi, dan ambil tanggung jawabnya. ”Pada saatnya mengambil keputusan, pemimpin tidak bisa lagi berpikir apakah ini (keputusan yang harus diambil) baik untuk saya, tetapi apakah ini baik untuk bangsa. Harus begitu, kalau sudah baik untuk bangsa, jangan lagi pikirkan diri sendiri,” katanya. JK mengingatkan, ada tiga sumber pemimpin, yakni birokrat, politisi, dan negarawan. Kalau birokrat, biasanya orientasinya cuma tahunan, politisi umumnya lima tahunan sesuai siklus orientasi politik dalam sistem nasional, sementara negarawan pasti berpikir jangka panjang, paling tidak untuk satu generasi. ”Tinggal pilih, mau dipimpin birokrat, politisi, atau negarawan?” katanya. Mengenai tujuan bersama yang harus menjadi orientasi pemimpin, menurut JK, mesti sama tujuan bersama dalam berjuang, berperang dengan segala pengorbanan, dan akhirnya merdeka, yakni kemakmuran yang merata. Tanpa kemakmuran merata, bahaya. Itu berarti ada ketidakadilan. Padahal, ketidakadilan yang terus-menerus dilihat dan dirasakan oleh rakyat bisa memicu lahirnya konflik. Ya, konflik antarkelompok dan golongan, rakyat dan aparat, daerah dan provinsi, daerah dan pusat. Nah, kalau konflik dalam arti luas kian banyak kita rasakan sekarang di negeri ini, berarti kita leaderless ya, Pak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar