Rabu, 23 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 47

AKU MATA HARI (47)
Rabu, 23 Juni 2010 | 05:03 WIB
Remy Sylado

Tapi terserah nasib.
Aku tak membayangkannya.
Jelas ada porsi rasa rambang.
Jelas pula ada porsi rasa panggak.
Namun di atas semuanya, sertamerta timbul percakapan aneh dalam perasaanku demi membaca bagian akhir surat Cremer yang aku pegang ini. Kata-kata di akhir suratnya ini membuat aku merasa seperti diuji kualitas kekuatan jiwaku:
”Ik geloof dat jij met ons kan samenwerken.”
Sekaligus, dengan kata-kata ini juga, aku merasa diberi tempat istimewa dalam ruang rasa percayanya.
”Aku tak akan menyia-nyiakan itu, Tuan Cremer,” kataku dalam hati.
Tinggal menunggu saja sang waktu yang menentukan bagaimana aku bersikap.
Sambil-lalu aku pegang amplop dengan kedua tangan, membaca seperti memelototi tulisan Lady MacLeod di situ.
Aku tersenyum suka.
Seketika aku membayangkan sejumlah ’lady’ yang aku kenal dari kesukaanku membaca karya-karya sastra sejak usia belia, antara lain Lady Bountiful dalam drama George Farquhar The Beaux Stratagem, lalu Lady Windermere’s Fan komedi karya Oscar Wilde, Lady of the Cammellias novel karya Alexandre Dumas, dan Lady of the Lake puisi naratif karya Sir Walter Scott.

Melamun begini
membuat aku merasa sendiri
namun bukan sebatang kara.

26

Akhirnya, inilah waktu yang paling tepat aku mesti berbicara empat mata dengan Ruud, sebagai betina dan, apa iya, jantan.
Aku menganggap pembicaraan yang sudah tertunda beberapa hari ini, akan menjadi percakapan rawan, namun juga wajib, berhubungan dengan cara bermutu menegakkan martabat kewanitaan. Dengan ini aku berpikir masuk ke tugas perang: menempatkan posisi seorang istri di aras yang seharusnya, terhormat, tidak dikadali, tidak dilecehkan. Tentu saja sebagai perang, aku berpikir menang, walau aku tahu juga, menang tak menjamin damai.
Maksudku, jika Ruud jantan, dia harus tampil laras antara yang diomong dan yang dibuat, menjawab jujur kalau salah, dan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya lewat jalan belakang.
Tapi isyarat itu sekarang sedang berada di tepi jurang.
Pada sore hari, setelah mandi yang kedua, aku minta Ruud duduk berhadap-hadapan dengan aku di serambi tengah.
”Ruud, silakan duduk,” kataku sambil duduk juga. ”Kita harus bicara. Aku sudah menunda- nunda ini. Dan aku rasa, kalau hari ini kita tidak bicara, aku akan meledak, dan tidak pernah ada orang yang akan memujimu sebagai perwira.”
”Tunggu,” kata Ruud, tercengang, sambil menarik kursi lantas duduk menghadap ke kursiku. ”Soal apa ini?”
Jawabku tegas, dan itu membuat Ruud memandangku dengan perasaan rambang, ”Soal apa yang kamu bisa, aku juga bisa.”
”Apa?” kata Ruud, bimbang, tapi dia coba pura-pura bersikap semadyanya.
Aku memangku kaki, kiri di atas kanan, dan langsung menggasak dengan omongan yang membuatnya terkinjat, dan selanjutnya tampak terselap seperti kehilangan hikmah.
”Begini,” kataku, disertai jeda sejenak, memandangnya tajam, dan aku lihat dia buncah. ”Dulu kamu ke Maison Bambou, bertanya kepada RenĂ© du Bois, ke mana pergiku, dan dia tidak menjawab karena melihat tindakanku itu benar. Maka, dia hanya memberimu puisi Arthur Rimbaud, menyuruhmu sabar. Tapi, padaku RenĂ© du Bois memberi petunjuk, karena melihat tindakanmu salah, bahwa kamu bertualang di dekat-dekat sini dengan seseorang yang entah siapa. Nah, supaya aku tidak bertanya-tanya seorang diri, tolong jawab pertanyaanku, kemana sebenarnya kamu pada lima kali akhir pekan selama ini?”
Saking bingungnya, wajah Ruud pucat, hampir menyerupai mayat. Dia tergagu-gagu. Mau menjawab, tak mudah. Tak menjawab, tak bagus.
Akhirnya dia menyangkal, ”Itu tidak benar.”
Aku langsung menggasaknya, ”Ah, itu tidak jantan.”


70) Saya percaya kamu bisa bekerjasama dengan kami

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/23/05035684/aku.mata.hari.47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar