Selasa, 22 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 41

AKU MATA HARI
Kamis, 17 Juni 2010 | 03:05 WIB
Remy Sylado

Aku mengajukan ini pagi-pagi di meja sarapan. Semua yang ada di atas meja, aku sendiri yang menyiapkannya, karena aku menolak babu yang mau bekerja di rumahku.
Mendengar permintaanku, Ruud tersentak, menampik.
”Untuk apa ikut ke sana?” katanya. ”Aku bertugas di sana.”
”Aku tahu kamu bertugas,” kataku. ”Makanya, kamu pergi ke tempat tugasmu, aku pergi jalan-jalan, ke toko-toko, cuci­mata.”
Dia kelihatan bingung. Tapi dia cerdik membuat alasan.
”Begini saja,” kata dia mengiming. ”Enaknya minggu depan saja kita pelesir ke sana, cucimata di toko-tokonya. Sekarang biar aku atur dulu jadwalnya.”
”Ah, tidak,” kataku, membikin diriku seperti kolokan. ”Aku ingin minggu ini saja kita pergi bersama-sama.”
”Sudah kubilang, harus atur jadwal dulu.”
Tampak sekali dia mencari- cari alasan supaya mengalihkan pikiranku untuk tidak usah pergi bersamanya. Karenanya, aku pikir perasaan curigaku makin beralasan untuk dipelihara.
”Kenapa tidak minggu ini saja toh?” kataku, langsung menggasak, menempelak di bawah latar curigaku tersebut. ”Atau barangkali di akhir pekan pada minggu ini kamu sudah punya janji dengan orang lain?”
Wajahnya tegang. Dia mengelak.
”Ah! Dengan siapa?”
”Ya, tidak tahu.”
”Ah! Bicara onzin apa ini?”
”Ya, ayo, kamu kasih tahu aku, biar aku mengerti onzin macam apa yang kelihatan ini.”
”Tidak,” kata Ruud, keras, tampaknya dia mulai tidak bisa mengendalikan diri, terpancing gusar.
Aku cuek, pura-pura bloon.
”Benarkah?” kataku.
Pertanyaan yang sederhana ini membuatnya berteriak, bukan gusar lagi, melainkan berang.
”Ya!” serunya keras, lantang, mukanya kaku, mata dilotot-lototkan.
Aku ketawa melihat itu, memperlihatkan kepadanya bahwa aku tidak terpengaruh oleh suara kerasnya.
”Tidak usah berteriak-lah,” kataku.
Dia malah berteriak, berang karena disindir, menolak dikatakan berteriak.
”Aku tidak berteriak!”
”Ya ampun, Ruud,” kataku santai. ”Kamu justru berteriak- teriak. Ada apa? Aku cuma tanya, apa benar kamu tidak janjian dengan orang lain. Kalau tidak, ya sudah, bilang tidak, aku percaya. Tidak usah berteriak. Dengan kamu berteriak begitu, malahan kamu menyuruh aku tidak percaya.”
Kelihatannya dia matikutu. Dia mengejek aku.
”Kenapa kamu jadi begini vervelen?” katanya.
Aku menangkis dengan gesit ejekannya itu.
”Bukannya kamu yang vervelen?”
Dia menghardik, ”Tidak! Kamu!”
Aku membalas hardik, ”Kamu!”
Dia memekik sekeras-kerasnya, menuding, dan berdiri jegang, tak sanggup menguasai emosi.
”Kamuuu!”
Aku pun tak kalah dirasuk oleh emosinya itu, dan secepatnya aku berteriak pula.
”Hou je mond!”
Dia menendang kursi. Kursi membentur meja. Meja terguncang, mengguncang gelas. Gelas melembakkan teh di dalamnya.
Nah, benar kataku, rumah tempatku tinggal ini sekarang sedang menjadi kandang kucing, dan adegan yang berlangsung ini adalah kucing kawin: kucing yang bertikai seru sekali karena kawin.
Lihat saja adegan selanjutnya.
Ruud mengira, demikian dia berharap, dengan menendang kursi di hadapanku, yang menyebabkan isi segelas di atas meja terguncang dan isinya menjiprati mukaku, maka aku bisa terpengaruh, misalnya kendor, kehilangan hikmah.
Dia keliru. Aku sendiri heran, bisa berlaku tenang di depan meja. Dengan berlaku tenang begini, aku bisa melihat dengan jelas keganjilan dalam sikapnya.
Kataku, ”Ruud, dengan bersikap begitu, semakin kentara kamu sulit menyembunyikan sesuatu dariku. Aku semakin percaya pada diriku, kamu berbohong.”
”Tidak!” serunya membela diri dengan sia-sia. ”Buat apa bohong?”

61) tidak masuk akal
62) membosankan, menjengkelkan, memuakkan
63) Tutup mulutmu

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/17/03055512/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar