Rabu, 16 Juni 2010

haa iki Om Piet, Penjaga Warga Merapi

Om Piet, Penjaga Warga Merapi
Rabu, 16 Juni 2010 | 03:47 WIB
 Mawar Kusuma

Ketegangan memuncak pada 16 Juni 2006. Pemerintah menurunkan status Gunung Merapi dari awas menjadi siaga. Sri Haryoto, yang kala itu merupakan satu di antara segelintir orang yang tetap bertahan di titik tertinggi Merapi, justru menyerukan ”Waspada tinggi, tetap bertahan di pengungsian!”
Suara Sri Haryoto alias Om Piet alias Utha yang terpancar lewat radio komunitas Balerante menyelamatkan warga yang akhirnya memilih bertahan di pengungsian. Sebelumnya, pemerintah mengimbau warga kembali ke permukiman pukul 10.00. Satu jam setelah waktu yang ditetapkan pemerintah itu, erupsi terjadi. Erupsi berikutnya terjadi lagi pukul 14.30.
Om Piet sangat yakin untuk menaikkan status menjadi waspada tinggi karena dia dan rekan-rekannya menyaksikan tanda menjelang erupsi secara visual di stasiun radio komunitas yang dibangun di Dusun Gondang, Desa Balerante, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah. Dusun ini berjarak diagonal 4 kilometer arah tenggara-selatan puncak Merapi dengan pemantauan 24 jam sehari.
Perbedaan pembacaan tentang situasi Merapi menyebabkan sejumlah lembaga pemerintah sempat menganggap Om Piet dan radio komunitas Balerante yang dirintisnya sebagai penyebab keresahan masyarakat. Polisi pun didatangkan untuk menangkap Om Piet, tetapi urung dilakukan karena pembelaan masyarakat. Kini, kerja sama dengan pemerintah justru terjalin harmonis.
Radio komunitas Balerante mengukuhkan eksistensinya dengan membawa misi kemanusiaan. Komunitas Balerante bertumbuh dengan anggota aktif sekitar 400 orang dan anggota pasif lebih dari 1.500 orang. Setiap hari, mereka saling mengabarkan kondisi cuaca, turut terlibat evakuasi korban beragam kecelakaan, dan menyediakan donor darah gratis.
Sejak tahun 1982, Om Piet menjadikan Desa Balerante yang merupakan desa terakhir di sisi tenggara Merapi sebagai base camp setiap kali mendaki gunung. Dia membangun stasiun radio komunitas Balerante dengan mengajak empat temannya mahasiswa pencinta alam Madawirma Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan menggunakan frekuensi radio dua meteran, mereka lalu membangun jaringan radio komunitas 149.07 megahertz atau biasa disebut 907 di rumah seorang tetua desa, Mbah Adi Prayitno, 18 Maret 2006.

Kepercayaan tumbuh

Kepercayaan masyarakat tumbuh ketika prediksi Om Piet tentang geger boyo atau longsornya bukit di lereng selatan Merapi benar-benar terjadi.
Di emperan rumah Mbah Adi yang berlantai tanah, Om Piet melakukan siaran dengan menggunakan handy talky (HT). Siaran informasi perubahan detail kondisi Gunung Merapi itu awalnya untuk memberi pemahaman warga di dua dusun rawan bencana agar bersedia mengungsi. ”Ternyata, yang memantau sangat banyak,” kata Om Piet, awal Juni.
Posisi Desa Balerante di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut (dpl) memungkinkan siaran radio terpantau hingga Jawa Timur dan Jawa Barat. Pos pengamatan radio kemudian diperluas di tiga titik lain, yaitu Desa Sambungrejo, Desa Ngipiksari, dan Desa Kaliworo. Seluruh perhatian masyarakat pun tercurah ke radio komunitas Balerante yang bersiaran 24 jam.
Mereka yang mendengarkan radio komunitas sempat mengira Om Piet dan sekitar enam rekannya yang memegang kendali radio komunitas merupakan orang pemerintah karena saking lengkapnya data yang disajikan. Padahal, peralatan yang digunakan Om Piet sangat sederhana.
Tanpa memiliki pengetahuan akademis kegunungapian, Om Piet mengaku beruntung karena hafal topografi ketika mendaki Gunung Merapi. Keberuntungan kembali datang setelah seorang ahli geotermal—kini Staf Ahli Bidang Bencana Kementerian Pekerjaan Umum—Aloysius Leston, turut bergabung dengan Posko Balerante. Leston memperkuat data yang dipaparkan radio komunitas Balerante dengan dukungan perangkat satelit.
Pukul 05.00, Om Piet sudah melaporkan perubahan yang terjadi pada Merapi. Informasi yang disajikan, terutama berupa jumlah guguran lava, arah angin, dan terjadinya awan panas. Siaran itu semakin mudah dimengerti karena menggunakan bahasa sehari-hari, bukan bahasa akademis.
Ketika seluruh warga desa mengungsi, Om Piet bertahan di Posko Balerante, ditemani lima rekannya dan pemuda desa penjaga ternak. Tiap kali tertidur, mereka pasti bersepatu dan kaki menyentuh lantai sehingga bisa cepat lari ketika terjadi indikasi pembalikan arah angin yang membawa asap sulfatara. Sepeda motor pun tidak dikunci, mengarah ke jalan raya.
Drama mencekam Merapi antara lain terekam dalam latar siaran radio komunitas yang sering kali menyerupai suara pesawat terbang saking kerasnya suara gemuruh dari Merapi. Jika siaran tiba-tiba terhenti, pendengar radio pasti akan kebingungan. ”Saking takutnya, saya ngomong di HT itu seperti mengulas pertandingan sepak bola,” tambah Om Piet.
Setelah bencana Merapi berlalu, pencinta radio komunitas Balerante banyak yang datang ke Posko Balerante dan mengaku kaget. Selain bukan orang pemerintahan yang melakukan siaran, posko radio komunitas Balerante itu ternyata hanya berupa emperan rumah dengan peralatan sederhana.
Wajah Om Piet yang ”ditahan” warga agar tetap tinggal di lereng Merapi dan tidak diperbolehkan pulang pun sudah tidak enak dipandang. Empat bulan memantau Gunung Merapi dengan hanya berbekal dua helai pakaian, Om Piet lebih mirip gelandangan. Apalagi wajahnya mengelupas akibat suhu ekstrem yang bisa mencapai 8 derajat celsius.
Om Piet bertekad, Balerante harus tetap menjadi organisasi netral, dari dan untuk masyarakat. Berbekal idealisme itu pula, dia menolak pemberian mobil operasional dari seorang pengusaha dari Jakarta. Om Piet dan rekan-rekannya juga menolak pemberian dana 500.000 dollar Amerika Serikat dari sebuah organisasi masyarakat.
Sehari-hari, Om Piet menjalankan bisnis penyelenggara kegiatan (event organizer). Dia juga mengurusi lembaga shooting manten yang disingkatnya menjadi LSM. Dari desa terlupakan, Om Piet mampu memperkenalkan Balerante kepada dunia.
Kehadiran Balerante telah menginspirasi banyak komunitas untuk turut mendirikan radio komunitas berbasis kebencanaan. Komunitas Balerante terbentuk kokoh, dan kini Om Piet mengaku hanya sesekali mengudara. ”Saya utamakan ngarit (bekerja) dulu. Nanti jika Merapi bergolak lagi, saya siap kembali pasang badan,” tekad Om Piet.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/16/03474839/om.piet.penjaga.warga.merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar