Selasa, 22 Juni 2010

haa iki Aku Mata Hari (43)

Aku Mata Hari (43)
Sabtu, 19 Juni 2010 | 03:28 WIB
Remy Sylado

Ketika kami bertiga tiba di rumah René, ada seorang Belanda dari Semarang, seperti yang dikatakan pembantu pribumi tadi, telah datang lebih awal untuk pertanyaan sama: di mana ’menghilang’-nya orang terkasihnya.
Walaupun kami duduk di luar, kami bisa mendengar percakapan René dengan tamunya tersebut.
Di luar sini kami duduk di kursi bambu pas di belakang krei bambu yang menghalang silau matahari.
Rumah René sendiri seluruhnya dibuat dari bahan bambu dengan hasil kerja yang rapi dan rajin, sehingga kesannya eksotik di tengah lembah yang hijau royo-royo. Di depan pintu masuk tertulis: Maison Bambou.
Memasuki rumah, di ruang pertama, di mana René duduk menghadap ke pintu, membentang latar tirai berwarna kirmizi yang berdebu, kelihatannya sudah bertahun-tahun tidak dicuci, dan di atasnya digantungi tulisan di dalam bingkai berupa larik-larik puisi Arthur Rimbaud:
A tout prix et avec tous le airs
même dans des voyages métaphysiques
Mais plus alors.

Di kursinya René duduk menatap wajahku dengan pandangan menyelidik. Matanya coklat. Menurutku, lelaki ini pada masa mudanya dulu gagah dan ganteng. Sekarang dia tua, janggutnya panjang sekali, persis seperti sosok-sosok santo dari awal abad Masehi yang dilukis oleh pelukis-pelukis Barat.
Sulit membayangkan René ini seorang pesuka lelaki, yang memuja Arthur Rimbaud, melebihi lelaki-lelaki waras memuja perempuan-perempuan pada umumnya. Aku berprasangka begitu karena melihat bawaan René yang kelihatan begitu lentur, mirip seperti ’rood-wit- blauw’ dihembus angin sepoi- sepoi.
Tapi, kenapa aku terpancing untuk berpikir begitu?
Bukankah aku ke sini untuk urusan suamiku. Aku ke sini menemuinya, untuk bertanya ke mana Ruud selama empat kali akhir pekan. Dan René dikenal sebagai orang pintar.
Aku beri foto Ruud kepada René sambil menyatakan masalahku itu kepadanya.
René mengambil foto itu, menaruh di meja depan matanya, lalu membeberkan kartu- kartu tarotnya di depan sebuah bola akik sebesar kepala bayi (sebesar kepala Norman John) yang aku gendong.
Setelah itu dia berkata, menunduk kepala, tapi matanya tajam terarah ke mataku:
”Dia lapar: lapar sunyi. Mencari kenyang: kenyang bunyi. Tidak pulang burung gagak dalam keharusan kembali ke batang pohon yang gundul oleh musimnya. Bertemu keisengan pada perang yang tak pernah damai.”
Aku tidak paham, sumpah mampus demi ibuku, kata-kata yang diucapkan René itu begitu aneh.
Makanya aku bertanya, ”Apa maksudnya itu?”
Jawab René, ”Aku tidak bisa melihat di mana dia bermain melakonkan perannya. Aku merasa adanya teater di luar sana.”
”Maksud Anda, ada orang lain bersama suamiku?” tanyaku tegang.
”Aku kuatir harus menjawab apa adanya,” jawab René.
”Bagaimana keadaan yang apa adanya?”
”Mungkin itu berarti: ya.”
”Apa?”
”Maaf.”
”Tidak. Katakan saja apa yang Anda lihat dari kartu-kartu itu.”
”Mungkin ini tidak seperti yang Anda pikirkan.”
”Apa maksudnya itu?”
”Kalau berpikir secara Barat, apa yang terjadi di luar sana, di suatu tempat sekitar sini, sebenarnya bukan selingkuh.”
”Bukan? Lantas apa?”
”Kelihatannya, yang muncul dalam mata saya, adalah semacam suatu permainan tentang pencarian diri pada kebebasan yang katakanlah nisbi.”
”Ya ampun, itu memusingkan. Apa maksud Anda yang sebenarnya dengan kalimat kabur, gelap, dan serba tekateki seperti itu. Yang ingin saya ketahui jawabnya: apakah suami saya main gila atau tidak?”
”Bukan kata itu yang ada dalam pikiran saya.”
”Jadi kata apa? Tolong.”
”Dia hanya bertualang dengan tubuhnya, bukan dengan jiwanya.”
”Apa kata Anda?”


64) Tak soal bagaimana tak soal di mana, juga dalam wisata metafisik. Tapi setelah itu tiada lagi
65) bendera Belanda

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/19/03283576/aku.mata.hari.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar