Rabu, 16 Juni 2010

haa iki Kami Dianggap Orang Gila...

Kami Dianggap Orang Gila...
Rabu, 16 Juni 2010 | 03:40 WIB
FRANS SARTONO DAN BRE REDANA

Keduanya dianggap ”orang bandel” dalam dunianya masing-masing. Itulah Garin Nugroho dan Yockie Suryoprayogo yang kini tengah menggarap drama musik untuk HUT Ke-45 Harian Kompas, berjudul Diana. ”Ini enaknya kerja tanpa beban,” ujar Yockie.
Maksud Yockie dengan ”kerja tanpa beban” karena dia merasa banyak yang memandang dengan sebelah mata proyek yang mempertemukan dua sosok ini, dirinya sendiri sebagai sutradara musik dan Garin sebagai sutradara. ”Kami sama-sama dianggap sebagai orang gila,” ucap Yockie.
Hanya saja, bersama-sama Yockie dan Garin serta para pemain yang usianya rata-rata jauh di bawah mereka berdua, rasanya menemukan suasana berkarya yang justru tidak melulu mekanis—satu hal yang biasanya memerangkap industri pop. Garin—mungkin dikarenakan pengalaman terlibat dalam proyek-proyek internasional yang ketat organisasinya—di luar eksplorasi-eksplorasi kreatifnya sebenarnya seorang organisator yang baik. Dia memiliki tim kerja yang menyistematisasi sesuatu yang sifatnya bebas seperti dalam kerja kreatif menjadi bisa diukur pencapaiannya, dijadwalkan kemajuannya, dan terdeteksi progresnya.
Adapun Yockie—pemusik yang punya jejak kuat dalam berbagai eksperimen kreatif dunia pop di tahun 1970-an—bekerja dengan intuisi yang mampu menyentuh aspek-aspek yang sulit dikalkulasi secara industrial. ”Begitu mendengar aransemen yang dibuatnya, kita hanya bisa tercengang, tidak bisa lagi mendeskripsikan,” komentar Garin.
Kenyataannya demikian. Sering tak terduga, sama tak terduganya dengan jadwal kerjanya. Sampai tengah malam, ia masih dengan wine. Begitu memegang keyboard, tanpa ba-bi-bu suasana dramatik yang ada dalam gagasan sutradara terungkap. Begitu pula ketika memandu pemain untuk meniti not-not lagu. Sheila Marcia, misalnya, diminta duduk di dekatnya, sembari dituntun untuk melepaskan suaranya. Entah bagaimana, nada-nada tinggi terjangkau oleh Sheila. Ketika Sheila menyanyikan lagu ”Cintamu Tlah Berlalu”, sejumlah orang yang ada dalam ruang latihan mengaku merinding. Kepahitan hidup seperti tertumpah di situ.

”Garinisme”

Garin, lulusan Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta, punya peran penting dalam tikungan perubahan film Indonesia. Setelah generasi para sineas seperti Sjumandjaya, Teguh Karya, Arifin C Noer, dan Wim Umboh, dengan jeda stagnasi perfilman yang cukup lama, muncul Garin dengan bahasa sinema yang terbilang berbeda dibandingkan dengan para pendahulunya tersebut. Tahun 1991, dia menghasilkan film Cinta dalam Sepotong Roti, yang membuat publik terbata-bata membaca bahasa sinematiknya. Film ini membuat Garin menerima penghargaan sebagai Sutradara Muda Terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik. Film ini juga meraih penghargaan sebagai film terbaik serta penghargaan pada kategori-kategori lain dalam Festival Film Indonesia.
Film-film Garin selanjutnya, antara lain Surat untuk Bidadari, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Daun di Atas Bantal, selalu berada dalam kontroversi. Di bioskop, film-film Garin tidak termasuk sebagai film ”laku”. Di lain pihak, pada berbagai festival film internasional, karya-karyanya selalu menarik perhatian juri. Bahasa film Garin ini—lebih khusus di kalangan generasi sineas sesudahnya—diam-diam dengan agak sinis sering disebut ”Garinisme”.
Garin mungkin memang bisa disebut sebagai avant garde sinema Indonesia era 1990-an. Ia melahirkan generasi baru film Indonesia lewat kelompok workshop Sains Estetika dan Teknologi (SET), seperti Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan John de Rantau untuk penyutradaraan atau Yudhi Datau dan Monod untuk kamera, serta Sentot Sahid, Arturo, dan Pulung untuk bidang editing. Setelah Garin, sejumlah sutradara Indonesia juga menembus festival-festival film internasional bergengsi, seperti Cannes, Berlin, dan Venice.

”Interaksi ’editing’”

Posisi kurang lebih serupa terdapat pada Yockie. Yockie yang dikenal banyak orang lewat God Bless menjadi bagian dari gerakan perubahan dalam musik pop di Indonesia pada zamannya. Bagian, karena pada zamannya juga ada orang seperti Chrisye, Fariz RM, Billy J Budiarjo, Keenan Nasution, dan lainnya.
Kita tengok situasi masa itu. Pada awal 1970-an, Koes Plus menjadi lokomotif penggerak era band lewat lagu seperti ”Kembali ke Jakarta”, ”Cintamu Tlah Berlalu”, ”Bunga di Tepi Jalan”, sampai ”Diana”. Grup itu mengakhiri dominasi Tetty Kadi dan Titiek Sandhora. Era baru telah hadir di belantika musik pop. Muncullah band seperti Panbers, The Mercy’s, Favourites Group, D’Lloyds, dan puluhan lainnya.
Memasuki paruh kedua era 1970-an, popularitas Koes Plus menyurut. Setidaknya, tidak segemilang masa-masa sebelumnya. Situasi yang bisa dikata stagnan itu ditembus oleh munculnya ”Lilin-lilin Kecil” karya James F Sundah lewat vokal Chrisye dan musik garapan Yockie. Lagu itu diambil dari Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang digelar Radio Prambors, di mana Yockie terlibat sebagai penata musik. Dobrakan lain yang tak kalah hebat gemanya adalah ketika Yockie, Chrisye plus Eros Djarot membuat album Badai Pasti Berlalu (1977) yang monumental itu.
Apa sebenarnya yang terjadi saat itu?
”Saat itu ruang eksplorasi terbuka sekali dan terfasilitasi. Saya bisa melakukan kerja kreatif dengan teman-teman yang sangat terbuka dengan gagasan-gagasan,” kata Yockie. ”Sejak tahun 1980-an saya tidak mendapat kesempatan seperti itu lagi. Ketika fasilitas teknologi dan practical know-how-nya ada semua, ruang dan kesempatan untuk bereksplorasi semacam itu justru tidak ada. Kami, seniman, malah jadi tertatih-tatih. Kesenian malah hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan pasar,” papar Yockie.
Kini, Yockie, Garin, dan penata gerak Eko Supriyanto dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta berada di tengah produksi drama musik bersama para pemeran yang terdiri atas anak-anak muda dari jagat hiburan masa kini. Generasi belakangan ini adalah generasi ketika dunia hiburan benar-benar menjadi industrial, sinetron dibikin dengan sistem ”kejar tayang”, keterbatasan waktu pemain dikarenakan kesibukan jadwal diatasi dengan mekanisme editing. Interaksi para pemain yang dilihat pemirsa di televisi adalah ”interaksi editing”.
Bersama Yockie dan Garin, drama musik ini ingin mengembalikan interaksi gadungan itu ke srawung manusia. Proyek ini tidak berpretensi untuk menjadi ”wah”, tetapi semata-mata ingin melihat apa yang akan terjadi kalau kemungkinan dari kewajaran kemanusiaan tereksplorasi. Langit tanpa batas, bumi tanpa rasa, alam tanpa pamrih.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/16/03404474/kami.dianggap.orang.gila...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar