Selasa, 22 Juni 2010

haa iki "Universitas" bagi 466/64


KOMPAS/FITRISIA SRI MARTISASI
Sel Nelson Mandela berada di seksi A nomor 4. Ada jendela dan pintu berjeruji ke arah lorong koridor dan sebuah jendela ke arah halaman. Perangkat di dalam sel hanya selembar karpet jerami, selimut tipis, meja kecil, dan tong untuk buang hajat.
 
ROBBEN ISLAND
"Universitas" bagi 466/64
Senin, 21 Juni 2010 | 03:17 WIB

Seperti juga sel-sel di sebelahnya, sel nomor 4 di seksi A berukuran tak lebih dari 2 meter x 2 meter. Sehelai matras jerami terhampar di bawah tumpukan selimut, bersebelahan dengan meja kecil dan tong untuk buang air kecil.
Selain pintu berjeruji dengan sistem gembok yang kokoh, terdapat dua jendela berjeruji di dalam sel. Yang satu menghadap ke lorong koridor, yang lain melihat ke halaman.
”Di sinilah Nelson Mandela menghabiskan 18 tahun penjaranya di Robben Island,” kisah Benjamin Thau, pria yang menjadi tahanan politik selama 11 tahun hingga tahun 1991. ”Saya di Robben Island ini sempat bersamaan dengan Madiba (sebutan kehormatan di dalam klan Mandela).”
Robben Island adalah ”rumah” bagi pemimpin perjuangan anti-apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang dihuninya dengan identitas 466/64, sebuah panggilan yang umum di penjara itu. Artinya, Mandela masuk tahun 1964 dengan nomor urut 466. Ia akhirnya dipindahkan ke penjara Pollsmoor, Cape Town, tahun 1982 dan kemudian ke penjara Victor Verster sebelum dibebaskan tahun 1990.
Di Robben Island ini juga makam Sheikh Sayed Abdurahman Motura, seorang pangeran sekaligus imam dari Madura, Indonesia, menjadi ikon perjuangan melawan penindasan. Seperti juga nasib yang menimpa Syekh Yusuf dari Makassar, Sheikh Sayed Abdurahman diasingkan oleh Belanda dari Madura tahun 1740. Sekitar 14 tahun kemudian ia meninggal.
Tahanan muslim yang dibebaskan dari Robben Island umumnya berziarah dulu ke makam ini sebelum pulang.
Tentang sel nomor 4-nya itu, di dalam buku Long Walk to Freedom, Mandela menggambarkannya sebagai berikut, ”Kami diberi tiga selimut tipis, dan sebuah matras jerami untuk tidur. Sangat dingin sampai kami tidur dengan tetap berpakaian penuh. Sel saya di ujung koridor. Kecil, jadi saya bisa jalan dari satu sisi ke sisi lain hanya dengan tiga langkah. Kalau saya menggeletakkan tubuh, kepala saya menyentuh dinding yang satu dan kaki saya ke dinding yang lain.”

Sebagai pemandu

Benjamin Thau—yang tahun 1980-1982 merasakan satu penjara dengan Mandela—menjadi bagian dari sejumlah eks tahanan politik di Robben Island yang kini kembali ke penjaranya, bukan sebagai penghuni sel, melainkan pemandu wisata.
Bersama dengan sejumlah sipir penjara—yang juga bekerja lagi di Robben Island—Thau menjalani profesi barunya yang sekaligus merupakan proses rekonsiliasi. Proses penyembuhan luka hati antara mereka yang menguasai penjara dan mereka yang ditempatkan di penjara itu dengan dakwaan yang terkadang tidak jelas.
”Saya dulu juga di Robben Island sekitar 2-3 tahun,” ujar Mandhra, awak kapal katamaran, Sikhululekile, yang bergerak mondar-mandir antara Waterfront, Cape Town, dan Robben Island. Ketika ditanya apa kesalahannya sehingga ditahan di pulau itu, ia menjawab, ”Saya di situ sebagai sipir penjara. Ada beberapa sipir yang sekarang seperti saya, bekerja lagi untuk Museum Robben Island.”

Sipir penjara

Hubungan antara tahanan politik dan sipir penjara di Robben Island tidak seratus persen bermusuhan. Beberapa sipir di masa Mandela ditahan pun sudah kerap bekerja sama, paling tidak untuk mendapatkan uang tambahan. Mandela mengisahkan bagaimana ia dan teman-teman politiknya dari Kongres Nasional Afrika (ANC) yang ditahan kerap menyuap para sipir untuk menyediakan surat kabar.
”Kalau kami pegang koran, terlalu berbahaya untuk diedarkan. Jadi, ada satu orang, biasanya Kathy, yang akan membaca seluruh surat kabar dan menggunting artikelnya,” tutur Mandela. Artikel ini kemudian diringkas dan baru diedarkan di antara tahanan politik.
Pernah suatu kali Mandela tertangkap tangan tengah membaca surat kabar. Hukumannya cukup berat, isolasi selama tiga hari. Itu artinya, ia sama sekali tak bisa berhubungan dengan rekannya, tak diberi kesempatan keluar ruangan, dan hanya mendapat air tajin (air sisa memasak nasi) sehari tiga kali.
Sipir penjara yang tak pernah dilupakan Mandela adalah yang bernama belakang Van Rensburg. Di antara tahanan, ia dijuluki sebagai ”kotak makan” karena selalu memerintah tahanan membawakan kotak makan siangnya, suatu hal yang selalu ditolak tahanan politik asal ANC. Suatu kali saat Mandela dan rekan-rekannya makan siang—setelah seharian menggali di tambang batu marmer milik penjara—”si kotak makan” sengaja membuang hajat di dekat mereka.

Tak dapat roti

Secara fisik kehidupan penjara di Robben Island sangat berat. Setiap hari selama 13 tahun—padahal semula diberi tahu hanya enam bulan—Mandela dan rekan-rekan tahanan politik bekerja menggali batu di tambang. Batu berwarna putih terang yang tertimpa sinar matahari sangat menyilaukan. Tak mudah pula untuk mengambilnya karena harus dilinggis terlebih dulu. Tetapi, baginya, bekerja di tambang jauh lebih menyenangkan daripada di dalam penjara.
Dengan pekerjaan sekeras itu, ternyata tahanan hanya sarapan bubur dengan kopi yang terbuat dari jagung yang dibakar sampai hitam. Siang dan malam hari tahanan kulit hitam mendapat mealie (semacam jagung tumbuk halus), sementara kulit berwarna (termasuk India) mendapat nasi jagung.
Seperti yang diutarakan Mandela, dari dokumen penjara yang dipajang, terlihat bahwa menu makanan tahanan kulit berwarna (golongan B) sedikit lebih baik daripada kulit hitam (golongan C). B mendapat roti dan selai atau sirup setiap hari, sementara C tidak. Jatah daging, lemak, gula, kopi untuk B juga lebih banyak dari C.
Apa pun penderitaan yang dirasakan, Robben Island bagi Mandela adalah universitas, karena di situlah mereka bisa belajar dari yang lain. ”Kami punya ’profesor’ kami sendiri yang memberikan kuliah,” kata Mandela. Ada yang mengajarkan sejarah organisasi ANC, ada yang membahas sejarah perjuangan bangsa Indian, ada yang mengajarkan soal Jerman Timur, sementara Mandela sendiri memberikan kuliah ekonomi politik.
Kini pulau lonjong seluas 5 kilometer persegi menjadi saksi perjuangan kelompok tertindas. Bukan hanya bagi yang tertindas karena memperjuangkan anti-apartheid, melainkan juga bagi mereka yang diasingkan oleh Belanda dari Timur Jauh. (Fitrisia Martisasi dari Cape Town, Afrika Selatan)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/21/0317580/universitas.bagi.46664

Tidak ada komentar:

Posting Komentar