Kamis, 24 Juni 2010

haa iki "Bicycle" = "Obahe Sikil"?

JELAJAH SEPEDA
"Bicycle" = "Obahe Sikil"?
Kamis, 24 Juni 2010 | 03:17 WIB

Di tengah kontroversi sejarah asal penemuan sepeda, sebagian ontelis di Indonesia—julukan bagi penggemar sepeda ontel—memiliki versi sendiri, yaitu sepeda berasal dari bahasa Jawa. Kok, bisa?
”Kalau tidak percaya, bisa dirunut dari asal kata bahasa Inggris bicycle yang diambil dari kata bahasa Jawa obahe sikil (kayuhan kaki),” kata Iswartono, penggila sepeda onthel dari Bogor yang asli Solo, sambil senyum-senyum.
Teori ini memang lebih untuk guyonan sesama ontelis, jelas tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi, jauh di balik lelucon itu sebenarnya adalah semangat ontelis ini untuk membumikan sepeda ke dalam budaya mereka melalui idiom lokal.
Bagaimanapun, sepeda sudah terinternalisasi secara panjang di Nusantara. Bahkan, Hindia Belanda (baca: Indonesia) menjadi salah satu wilayah di dunia yang termasuk pertama kali menggunakan teknologi sepeda saat baru ditemukan.
Hal ini dibuktikan dengan tumbuh suburnya toko-toko sepeda di Hindia Belanda tak lama sejak ditemukannya moda transportasi ini. Dokumen berupa iklan di media cetak pada 1950 tentang Toko Sepeda N.V Handel-Maatschappij ”Lim Tjoei Keng” menyebutkan bahwa toko tersebut sudah berdiri sejak 100 tahun sebelumnya, atau berarti tahun 1851. Iklan ini juga menerangkan toko tersebut memiliki cabang di ”antero Java” seperti Batavia (Jakarta), Bandoeng (Bandung), Cheribon (Cirebon), Pekalongan, Tegal, Solo, Djogja (Yogyakarta), Semarang, dan Soerabaia (Surabaya).
Pengajar sosiologi yang juga peneliti senior di Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hendrie Adjie Kusworo, mengatakan, sepeda dibawa masuk ke Indonesia oleh kolonial Belanda. Sebagai teknologi baru, sepeda segera saja menjadi primadona bagi priyayi pribumi, kolonial Belanda, serta kaum elite pedagang.
Popularitas sepeda di Tanah Air itu juga dibuktikan dengan beredarnya katalog sepeda berbahasa Melayu, selain bahasa Inggris dan Belanda, yang memuat berbagai jenis onderdil sepeda pada tahun-tahun tersebut. Katalog itu diterbitkan oleh N.V Handel en Industrie-Mij.V/h M. Adler, Prinsengracht 581/583, Amsterdam, pada April 1914 dan pernah dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 2006. Katalog ini menjadi referensi penting para penggila sepeda tua hingga saat ini.

Era sepeda motor

Kejayaan sepeda di kalangan atas ini, menurut Hendrie, tak berlangsung lama karena datang era sepeda motor dan mobil yang segera saja menggantikan posisi sepeda.
”Ketika sudah bisa diproduksi secara massal, sepeda kemudian direndahkan. Kaum orang kaya waktu itu kemudian segera saja beralih ke kendaraan bermotor,” kata Hendrie.
Namun, sepeda tetap populer di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah hingga tahun 70-an. Pada tahun-tahun inilah, di beberapa kota, sepeda menjadi primadona transportasi, misalnya di Yogyakarta, Klaten, Solo, Pekalongan, dan beberapa kota lainnya.
Sedangkan sejak tahun 1980-an, seiring dengan semangat pembangunan gaya Orde Baru yang mengukur kemajuan dari motorisasi transportasi sepeda pun makin tergusur.
”Mimpi masyarakat bawah sekarang adalah memiliki kendaraan bermotor,” kata Adjie.
Pada periode ini, beberapa ruas jalan yang dikhususkan untuk mobil (baca: jalan tol) giat dibangun. Pengimpor otomotif (mobil dan sepeda motor) juga gila-gilaan menggelontorkan berbagai produk.
Infrastruktur sepeda disisihkan dan tak pernah menjadi bagian dari perencanaan transportasi di Indonesia. Akhirnya, terbentuk pencitraan bahwa sepeda identik dengan kalangan masyarakat miskin.
Namun, pada awal tahun 1990-an, pawai bersepeda, atau yang biasa dikenal sebagai sepeda gembira, mulai marak. Dalam konteks ini, sepeda tak lagi dilihat sebagai moda transportasi, tetapi lebih sebagai wahana berekreasi.
Munculnya kesadaran lingkungan global pada awal tahun 2000-an memicu kesadaran sebagian kelas menengah di Indonesia untuk menggunakan transportasi ramah lingkungan. Hal ini ditambah dengan kemacetan di jalan-jalan yang makin parah akibat membeludaknya pengguna mobil. Sepeda pun kembali dilirik sebagai moda transportasi alternatif. Gerakan bersepeda ke tempat kerja (bike to work) menemukan momentumnya.
Kini, tiap hari, ribuan pekerja kerah putih memilih bersepeda ke tempat kerja walaupun tanpa dukungan jalur sepeda ataupun infrastruktur lain yang memadai. Obahe sikil (baca: bicycle) sebagai pilihan cara ke tempat kerja pun semakin populer saja....(Ahmad Arif/Amir Sodikin)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/24/03173841/bicycle..obahe.sikil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar