Senin, 28 Juni 2010

haa iki Demokrasi Menuju Pepesan Kosong?

28/06/2010 - 15:44
Demokrasi Menuju Pepesan Kosong?
Ahluwalia
Arbi Sanit
(inilah.com)
 
INILAH.COM, Jakarta - Sepuluh tahun lebih reformasi, namun kehidupan sosial-ekonomi tidak kunjung membaik. Demokrasi liberal yang tak substansial ini malah dibajak para pemodal. Akibatnya, demokrasi hanya dari elite, oleh elite dan untuk elite, bukan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Mengapa?
Demokrasi liberal yang sekedar prosedural itu hanya membuat kehidupan rakyat kian marginal dan menunggu tetesan dari atas, yang ternyata hanya pepesan kosong. “Di tengah kesenjangan kaya-miskin dan ketidakadilan sosial yang meluas, jelas demokrasi liberal perlu perubahan substantif dan radikal,'' kata Fadli Zon MA, alumnus London School of Economics dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, baru-baru ini.
Peneliti The Indonesian Institute Hanta Yuda AR menuturkan, berdasarkan kajian atas pemilu kepala daerah 2010 dan masa depan partai politik yang ada, situasi akhir-akhir ini sungguh mencemaskan. Fenomena politik dinasti dan politik uang ternyata masih mendominasi panggung politik era reformasi dewasa ini.
Gejala politik dinasti, ungkapnya, terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah dari kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa. Sementara fenomena politik uang juga masih mendominasi proses politik di Pemilukada dan perekrutan calon kepala daerah di internal partai. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Pemilukada, tetapi sebelumnya juga terjadi pada pemilu legislatif.
Hanta Yuda melihat, para petinggi partai memungut dan memasang tarif bagi para calon anggota legislatif (caleg) dan menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar caleg di Pemilu 2009.
Politik dinasti dan uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem perekrutan partai di negara demokrasi ternyata justru menjadi karakter utama partai-partai dewasa ini.
”Banyak partai memang demokratis. Namun, keuntungannya hanya dinikmati elite politik, termasuk pengusaha dari konco-konco (teman-teman) orang partai. Rakyat tetap tidak berubah,” kata Arbi Sanit, pakar politik UI.
Sistem multipartai secara teori dapat membuat pemerintahan menjadi demokratis. Namun, di Indonesia, sistem multipartai dinilai lebih menguntungkan oligarki dan elite politik. Sebaliknya, rakyat tidak mendapatkan banyak keuntungan karena sistem multipartai jelas tidak mampu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. [mdr]

Sumber : http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/06/28/629781/demokrasi-menuju-pepesan-kosong/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar