Kamis, 24 Juni 2010

haa iki Mengayuh Sepeda untuk Hidup


KOMPAS/AHMAD ARIF
Muchzin (60) saat bersepeda di Jalan Purwodadi- Semarang pada pertengahan Mei lalu. Setiap hari Muchzin menempuh jarak sekitar 40 kilometer pergi-pulang ke tempat kerjanya di Kota Semarang dari rumahnya di Demak.
45 TAHUN KOMPAS
Mengayuh Sepeda untuk Hidup
Kamis, 24 Juni 2010 | 03:14 WIB
Oleh Ahmad Arif

”Kemudian aku menanjakan nama petani muda itu. Ia menjebut namanja. ’Marhaen’. Marhaen adalah nama jang biasa seperti Smith dan Jones. Di saat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu!”
Semendjak itu kunamakan rakjatku rakjat Marhaen. Selandjutnja di hari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru. Aku memperlantjarnja. Aku mempersiapkan kata-kataku dengan hati-hati. Dan malamnja aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. Petani-petani kita mengusahakan bidang tanah jang sangat ketjil sekali.”
Itulah kata-kata Soekarno dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang ditulis Cyndi Adams. Di kala suntuk, Soekarno rupanya bersepeda. Tak heran, foto Soekarno bersepeda demikian populer di kalangan pencinta ontel.
Dan, ilham menggenangi pedalaman kepala Soekarno kala ia duduk di atas sadel sepeda. Sepeda pula yang mempertemukan dia dengan Marhaen, yang kemudian memberi pemahaman baru tentang derita rakyat.
Akankah pejabat negeri ini memahami derita rakyat sebagaimana Soekarno jika mereka setiap melintas di jalan mengendarai mobil-mobil mewah dengan pengawalan ketat?
Zaman memang berubah. Pada era Soekarno setidaknya petani masih punya secuil lahan. Kini, banyak petani sama sekali tak punya lahan garapan. Bedanya lagi, jika dulu yang mampu naik sepeda adalah priayi dan kaum berpunya, kini pesepeda kebanyakan kaum marhaen, atau setidaknya yang dianggap miskin.

Marhaen masa kini

Kami menemui sosok lain ”Marhaen” itu di Jalan Raya Purwodadi-Semarang. Hampir pukul 18.00 saat Muchzin (60) menembus keramaian jalan dengan sepeda tua. Hujan yang mengguyur petang itu tak menghentikan kayuhannya. Jarak sekitar 20 kilometer dari tempat kerja di Semarang ke rumahnya di Sidorejo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, ditempuh selama 45 menit.
Sudah 35 tahun tukang kayu itu mengayuh sepeda, meretas jalan yang sama. Ia menjadi saksi tentang kota yang berubah, dan teman seperjalanannya yang sudah beralih menggunakan sepeda motor.
Hingga tahun 1990-an, kata Muchzin, masih ramai rombongan pesepeda dari kampungnya ke Semarang. Namun, kini, pekerja bersepeda bisa dihitung dengan jari. ”Kebanyakan sudah naik sepeda motor,” kata lelaki beranak enam dan memiliki dua orang cucu ini.
Muchzin tetap bersepeda. Ia enggan mengambil sepeda motor kreditan, sebagaimana teman-temannya. ”Enggak sanggup. Makan apa anak-anak kalau harus bayar cicilan. Kerja sehari hanya dapat Rp 30.000, kadang juga enggak ada kerjaan,” kata dia.
Berbeda dengan pergerakan roda sepedanya yang nyaris tak berhenti, hidup Muchzin justru nyaris mandek. Selain sepeda tua dan rumah bambu warisan mertua, tidak ada yang berubah dari hidupnya. Sepedanya juga tetap sama, merek Raleigh. Sepeda itu dibeli seharga Rp 35.000 pada tahun 1971, dari hasil menjual dua kambing dan utang koperasi desa Rp 15.000. ”Kalau sekarang mungkin harganya Rp 350.000,” katanya.
Sepeda itu pernah ditawar orang Rp 200.000. Namun, Muchzin tak menjual sepedanya. ”Ini sepeda kenangan, satu-satunya modal kerja saya. Saya tak punya sawah atau ternak. Saya juga masih ingat betapa susah membeli sepeda ini. Dulu, tiap Rabu haru bayar cicilan utang ke koperasi,” kata dia.

Terpaksa bersepeda

Di tengah arus deras modernisasi alat transportasi, masih banyak orang seperti Muchzin yang terpaksa bersepeda. Bagi mereka, sepeda tak hanya sebagai alat transportasi, tetapi sudah menjadi modal dasar menghidupi keluarga.
Di jalur Sragen-Ngawi, Sugianto (55) terpaksa menjadikan sepeda sebagai penyambung hidup. Tiap hari, ia harus mengayuh sepeda puluhan kilometer dengan beban kayu bakar lebih dari satu kuintal.
Lelaki dari Dusun Gelung, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu menjalani profesinya sejak 15 tahun silam. Setiap pukul 05.00, ia harus bergegas mengayuh sepeda ontel menuju hutan jati Ngawi. Dia mesti mengorek sisa akar jati dan mengumpulkan ranting. Baru pukul 12.00 dia keluar dari hutan dan menyusuri jalan untuk menawarkan kayu bakar.
Selain mencari kayu bakar, pada musim tanam padi Sugianto juga menjadi buruh tani. ”Saya tak punya sawah atau ladang. Hanya bisa memburuh atau cari kayu,” katanya.
Tahun 1980-an, Sugianto merantau ke Jakarta, bekerja sebagai sopir di perusahaan rokok. Sepuluh tahun tanpa kemajuan, dia pulang kampung dengan rasa kalah.
Kini, dari tiap hari kerja kerasnya, Sugianto paling banyak hanya mendapat penghasilan Rp 30.000. Uang itu hanya bisa untuk makan dan biaya sekolah tiga anaknya. ”Tiap hari kerja hasilnya habis untuk makan. Nunggu anak besar, belum tentu bisa sekolah sampai tinggi. Lulus sekolah pun belum tentu dapat kerja yang baik,” katanya.
Rasa putus asa Sugianto menebal. Anak sulungnya yang bekerja sebagai pelayan warung di Jakarta tak bisa diharapkan. ”Ia hanya dibayar Rp 20.000 per hari. Untuk hidup sendiri pasti susah, apalagi untuk kirim uang ke desa. Nanti, paling-paling ia akan pulang, mungkin ikut cari kayu bakar,” ujarnya.
Melihat daya Muchzin dan Sugianto untuk hidup, segera saja mengingatkan kepada Soekarno dan Marhaen. ”Sementara mendajung sepeda tanpa tudjuan aku sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian jang padat dimana orang dapat menjaksikan para petani mengerdjakan sawahnja jang ketjil....” kata Soekarno.
Ketika sawah yang sempit itu menghilang, maka dari atas sadel sepeda perjuangan hidup itu mereka definisikan kembali.(Amir Sodikin)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/24/03142622/mengayuh.sepeda.untuk.hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar