Rabu, 16 Juni 2010

haa iki AKU MATAHARI 40

AKU MATAHARI
Rabu, 16 Juni 2010 | 03:34 WIB
Remy Sylado

”Tarian adalah keindahan jiwa dalam tubuh yang paling mempesonakan hasrat-hasrat kehidupan.”
”Wah, Mevrouw bicara terlalu tinggi,” kata Didik. ”Saya tidak mengerti.”
Aku ketawa melihat mukanya yang dungu tapi safi.
”Kamu tidak perlu mengerti,” kataku. ”Yang namanya tarian itu, tidak dimaksudkan supaya penonton mengerti, tapi supaya penonton merasakan keindahannya, lalu membayangkan keindahan itu bisa sama-sama dibangun dengan cara yang alami.”
”Wah, wah, Mevrouw, demi Tuhan, saya tidak mengerti itu.”
Aku ketawa lagi melihat mukanya yang belum berubah apa-apa seperti tadi.
”Pokoknya begini, Didik,” kataku. ”Saya merasa harus mengucapkan terimakasih padamu. Kamu sudah antar saya ke tempat yang tepat. Di Borobudur saya menemukan harkat kemanusiaan saya. Seandainya ibu saya masih hidup, pasti saya akan mengatakan kepadanya tentang kebenaran bidal: hidup ini singkat tapi seni itu abadi.”
Didik tak berkata lagi bahwa dia tidak mengerti, tapi dari wajahnya, wajah seorang kopral yang picek, kelihatan asli batas nalarnya. Pekerjaan yang selama ini menjadi tanggungjawabnya memang hanya membutuhkan tangan yang rajin, bukan otak yang cendekia.
Yang pandai
memakai otak
Yang pandir
memakai otot.
21
Bulan-bulan berlalu di Ambarawa sampai usia kandunganku mencapai lima bulan, disertai ingatan-ingatan tentang selang-seling perbedaan-perbedaan pendapat yang bermula dari hal-hal remeh, kemudian berlanjut dengan saling ngotot, saling berteriak, saling cerca, tak capek-capek, tapi kelihatannya memang perlu, ukurannya: lumrah.
Lebih rinci aku hendak berkata dengan gambaran yang dramatis, bahwa selama waktu- waktu yang telah berlalu menurut mestinya, memang puguh terjadi beberapa kali perselisihan pendapat yang menyebabkan aku bludrek, harus menghardik, kemudian dibalas hardik pula oleh Ruud, sehingga rumah sempat menjadi seperti kandang tikus, rame tidak karuan, dilengkapi pula gaduhnya suara tangis Norman John yang terganggu oleh suara tengkar orangtuanya, namun sejauh itu aku masih harus menganggapnya wajar, sebab setelah reda, ketika aku diam tercenung seorang diri, aku menyadari sisi-sisi kekuranganku, yaitu, kadang-kadang sikapku memang mengarah kepala batu: maklum hari lahirku 8 Agustus, dan kata orang yang rajin membaca bualan-bualan astrologi, konon menyatakan perempuan yang lahir di zodiak ini umumnya degil, atau bahasa antero Nederland: ’koppig’.
Tapi mengapa tiba-tiba memasuki usia kandunganku tujuh bulan, masa kehamilan yang punya arti khusus dalam istiadat Jawa untuk diupacarakan—dipitoni—aku menaruh wasangka pada Ruud, dan aku kuatir keadaan rumah yang tadinya hanya mirip kandang tikus, sekonyong berubah menjadi kandang kucing.
Asal-muasalnya, karena pada bulan terakhir ini, di setiap akhir pekan Ruud ke Semarang: berangkat Sabtu pulang Minggu dengan membawa oleh-oleh dodol. Aku tanya tugas apa dia di Semarang, astaga jawabnya merengut, terbata-bata. Makanya, beralasan jika terbit rasa curiga dalam diriku, jangan-jangan dia menemukan, lantas menemui, seorang nyai untuk dimanfaatkannya sebagai alamat pelampiasan nafsu. Pantaslah aku mesti curiga begini, sebab, bukankah dia sendiri pernah menyatakan soal ini padaku, bahwa karena dia harus berpantang denganku selama aku hamil, dan tidak tahan untuk tidak melakukan itu, maka dia mencari perempuan lain, seorang nyai, yang bersedia diajak bercinta. Lalu, berhubung dia tahu aku tidak setuju, menolak keras, marah, dan akibatnya aku minggat, maka sekarang dia melakukannya secara diam-diam, sembunyi-sembunyi, persis seperti kucing-kucingan lewat pintu belakang.
Menyadari akan hal garib itu, wajarlah aku mesti merawat rasa curiga dalam diriku untuk tidak lengah.
Pada akhir pekan berikut ini aku bilang harus ikut dengannya ke Semarang.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/16/03341049/aku.matahari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar