Selasa, 29 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 53

AKU MATA HARI
Selasa, 29 Juni 2010 | 05:20 WIB

Gereja terilhami dari serangan pendeta Protestan Baron van Hoëvell di Tweede Kamer terhadap pemerintah kolonial.”
Aku mengangguk-angguk, menyerap omongan Cremer.
”Kamu mengerti?” tanya Cremer.
”Ya,” sahutku, paham betul arah bicara Cremer. ”Saya menyimpulkan, Anda terusik oleh kritik gereja terhadap pemerintah di Batavia ini.”
”Kamu benar sekali,” kata Cremer, bangga, menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya senang kamu. Selama ini, banyak hal yang saya inginkan, padahal sedikit hal yang saya butuhkan. Di antara yang sedikit itu, saya mendapatkan dari kamu. Kamu cepat mengerti.”
”Apa yang bisa saya lakukan buat Anda?”
”Banyak hal yang saya yakin kamu bisa lakukan. Tapi satu hal yang paling saya harapkan, kamu menari seperti yang kamu lakukan di kaki Candi Borobudur. Acaranya akan kami selenggarakan di Sociëteit de Harmonie di depan tamu-tamu elite, termasuk pendeta Protestan dan pastor Katolik.”
”Dalam keadaan hamil begini?”
”Tentu saja tidak, Lady MacLeod. Nanti, pada tanggal 30 Mai, pas ulang tahun ke-280 Batavia. Kamu harus menggegerkan itu tokoh-tokoh gereja. Saya ingin tahu apa komentar mereka terhadap erotik Jawa.”
Aku hanya diam, mencoba membayangkan sesuatu yang tak pernah terjadi, tapi terpikir untuk menghadapinya sebagai tantangan baru.
Sambil memegang perutku tanpa sungkan-sungkan Cremer berkata, ”Nah, Lady MacLeod, kira-kira kapan kamu melahirkan?”
”Rasa-rasanya dalam satu-dua atau dua-tiga hari ini.”
”Wah, kalau begitu, sore ini juga kamu harus suruh suamimu mengantar kamu ke dokter kebidanan merangkap ginekolog Jasper Hoedt di Molenvliet.”
”Tuan Cremer, oh, ya, maaf, Jan, saya memang tinggal serumah dengan MacLeod, tapi tidak ada lagi huruf-huruf yang bisa keluar dari mulut saya.”
”Apa maksudmu?”
”Semua perempuan memutuskan kawin dengan lelaki yang tidak tepat. Saya sedang berpikir, perempuan menjadi sangat tolol mau kawin karena alasan musim dingin, seperti yang saya lakukan.”
”Saya masih belum menangkap maksud omonganmu.”
”Saya sedang meminta bantuan Anda.”
”Bantuan?”
”Ya. Saya sudah menyatakan harus cerai dengan MacLeod, dan tidak ada alasan apapun, dan siapapun, yang bisa menghalau keputusan hati saya. Di hati saya ada surga sekaligus neraka.”
”Mengejutkan.”
”Apa boleh buat. MacLeod bukan lelaki yang tidak tepat, tapi lelaki yang lebih tepat kawin dengan babi.”
”Astaga. Itu bahasa sarkas sekaligus sadis. Tapi, ya, kalau kamu ingin MacLeod ditugaskan ke Aceh, hari ini pun saya bisa atur.”
Aku senang. Kataku, ”Bukan ’ingin’ lagi, Tuan Cremer, tapi ’mau’ sekali.”
Di ujung kalimat ini Norman John mengencingi aku...

31
Aku berangkat bersama Norman John ke klinik Dokter Hoedt, orang Belgia beristri orang Cina, di Molenvliet, sekitar 150 meter di arah utara hotel tropis paling elok di Batavia, Hotel des Indes.
Sang dokter kocak. Melihat mukanya saja geli. Apalagi setelah dia bicara. Suaranya keras dengan bahasa Belanda khas logat Vlam. Berangsur-angsur baru aku menyadari, bahwa dia bicara dengan suara keras-keras sebab dia tergolong budi: budeg dikit.


85) berkas-berkasnya diserahkan kepada Mensesneg pada hut ke-50 RI
86) balai rendahan dalam parlemen Belanda
87) lokasinya di sudut antara Rijswijk (sekarang Jl. Veteran) dengan Rijswijkstraat (sekarang Jl. Majapahit) tapi sudah dibongkar menjadi jalan tembus Jl. Hayam Wuruk ke Monas
88) menurut catatan Belanda, jatuhnya Iacatra ke pihaknya
89) sekarang Jl. Gajah Mada
90) lokasinya di sudut Gang Chaulan (sekarang Jl. Hasyim Asyari) dan Molenvliet (sekarang Jl. Gajah Mada), dihancurkan pada 1971 dan diganti gedung Duta Merlin yang jelek

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/29/0520357/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar