Selasa, 22 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 46

AKU MATA HARI (46)
Selasa, 22 Juni 2010 | 05:22 WIB
Remy Sylado

24
Aku bangkit dari kursi, membawa koran Mata Hari itu, lalu menaruhnya kembali di meja resepsionis.
Sang resepsionis, seorang lelaki Cina yang memakai taucang, sebagai leluri penjajahan Mancuria, tetap saja memandangku takjub seperti tadi.
Kelak, setelah terjadi percakapan yang tidak aku harapkan, barulah aku menyadari, bahwa sebenarnya dia tidak takjub, tapi terlalu naif, sehingga omongan yang harusnya tidak diucapkannya, malah dibeberkannya.
Mula-mula dia bertanya padaku, ”Nyonya baru pertama menginap di sini?”
”Ya,” jawabku pendek, tak minat bersosial-sosial.
”Tuan MacLeod biasa ke sini, menginap di kamar 11,” katanya.
Aku kaget, seperti tersengat, dan percakapan yang tadinya aku hindari, justru sekarang aku lanjutkan dengan senang sekaligus dengan deg-degan.
Di sini aku tertantang untuk menjadi cerdik. Pertanyaanku tidak boleh bodoh. Aku harus sok-tahu. Seakan-akan aku sudah tahu bahwa ”Tuan MacLeod” menginap di kamar 11 dengan seorang perempuan yang cantiknya bersaingan dengan aku. Maka pertanyaanku berikut ini merupakan umpan yang tidak disadarinya.
”Cantik mana, saya atau perempuan yang menginap dengan Tuan MacLeod di kamar 11 itu?”
Resepsionis itu mencibir. Katanya, ”Oh, jelas lebih cantik Nyonya.”
Aku sok-tahu lagi, dan dia tidak tahu hatiku mendidih. Kataku, ”Oh, terimakasih, kamu memuji saya. Memang, tidak semua perempuan Belanda itu cantik.”
”Ah, bukan, Nyonya,” kata resepsionis bersemangat. ”Perempuan itu bukan Belanda.”
”Apa? Bukan Belanda?”
”Ya, Nyonya. Dia pribumi.”
Aduh! Hatiku bergolak. Kalau begini, marahku memang adalah api yang berkobar-kobar.
Ruud muncul dari kamar.
”Kamu belum mengantuk?” katanya.
Saking panasnya api di hatiku, aku berteriak nyaring.
”Beluuum!”
Aku berlari ke kamar.
Menangis?
Tidak. Cadangan airmataku sudah kering.
Satu-satunya kata yang ada dalam pikiranku: cerai!
Tapi, aneh, semua kata-kata tersumbat di hati. Dalam marahku yang hebat ini, ternyata aku tidak bisa bilang apa-apa.
Kalau begitu, aku harus berpikir, mencari waktu yang tepat, memberi neraka baginya.

25
Aku bahkan masih menahan diri, tidak memuntahkan kata-kata marah yang sudah numplek di kepala, sampai tiga hari berada kembali di Ambarawa.
Di hari Rabu, tanpa dinyana, empat jam sebelum Ruud pulang, datang sepucuk surat untukku.
Aku gemetar membaca nama pengirimnya.
Pengirimnya J. Th. Cremer.
Dan, aku terkesima membaca nama yang tertera di amplop, Lady MacLeod.
”?”
Kenapa Lady MacLeod?
Kenapa bukan Mrs MacLeod?
Aku bertanya-tanya begini, sebab selama ini aku merasa cukup akrab, sebagai istri orang Skot yang bercakap Inggris dengan dialek khas—misalnya ’book’ terdengar ’buik’ atau ’stone’ terdengar ’stane’—aku suka disebut Mrs MacLeod.
Dan, tersimpan dalam ingatanku, di Borobudur waktu itu Cremer meminta aku menuliskan nama gadisku Margaretha Geertruida Zelle.
Sekarang Cremer menyebutku Lady MacLeod.
Oh? Cantik juga sebutan ini.
Aku menggumam: apakah aku tampak sebagai ’lady’?
Karuan aku ketawa sendiri.
Saat aku membuka amplop surat ini, dan membaca isinya, aku tertegun. Isinya pendek- pendek. Intinya, Cremer mengatakan, bahwa pada bulan depan nanti akan turun besluit yang menyatakan Ruud dipindahtugaskan ke Batavia.
Bulan depan?
Kalau dihitung-hitung harinya, setelah besluit itu diterima, dan kami berangkat ke Batavia, berarti aku akan melahirkan anak keduaku di sana.
Aku belum bisa memastikan bagaimana keadaan keluargaku di sana nanti.
Lebih buruk?
Niscaya!


Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/22/05220633/aku.mata.hari.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar