Selasa, 22 Juni 2010

haa iki AKU Mata Hari 45

AKU Mata Hari (45)
Senin, 21 Juni 2010 | 02:48 WIB
Remy Sylado

Di wilayah sinilah, sampai di jembatan gantung yang disebut secara Jawa, Mberok, dari bahasa Belanda ’brug’, dan di seberangnya sana Bodjong, adalah bagian penting kota, pusat perdagangan Belanda paling berkelas, disebut dalam bahasa Belanda sebagai ’benedenstad’, tapi lebih populer disebut oleh orang-orang Cina sebagai ’pan-lay’.
Kalau bukan karena hari ini hari Minggu, bagian kota ini ramai. Karena sekarang hari Minggu, aku jengkel, semua toko di Heerenstraat tutup. Satu- satunya gedung yang buka di jalanan ini hanyalah Koepelkerk, demikian orang Belanda menyebut gereja Protestan yang berbentuk kubah ini, mirip seperti kubah masjid.
Ketika cikar melewati Koepelkerk, dari dalam terdengar dengan semangat suara umat yang seluruhnya Belanda, menyanyikan lagu ciptaan pendiri Reformasi, Martin Luther, bukan dalam bahasa Belanda, melainkan dalam bahasa aslinya Jerman, Ein feste Burg is unser Gott.
Aku menggerutu tanpa mengucapkannya, sebab maksud hati ke sini untuk jalan-jalan dan cuci mata, nyatanya hanya gigit jari disertai bara di jantung yang berasap di kepala.
Meski begitu, aku menahan diri, tidak langsung menyatakan rasa kesal ini kepada Ruud.
Mungkin sebentar lagi, setiba di hotel, aku akan marah.
Marah di saat yang tidak tepat, aku sadar, hasilnya akan mubazir. Marah yang tepat haruslah berurusan dengan cara bagaimana mengalahkan lawan omong dengan kata-kata terpilih. Biasanya, kata-kata yang keluar dari mulut tanpa tertata urutannya, mutunya hanya sama dengan kentut, tak bisa dijadikan senjata dialog.
Sekarang aku menyimpul- nyimpulkan dulu kesalahan-kesalahan Ruud. Kesalahan utamanya, dia mengajak aku turun ke Semarang pada hari Minggu. Padahal selama ini, kalau dia bilang ke Semarang untuk alasan tugas, selalu dia berangkat pada hari Sabtu pagi, lantas pulang pada Minggu siang.
Tadi kami berangkat pagi-pagi dari Ambarawa. Rencananya kami akan menginap semalam di Semarang, di hotel daerah Pecinan, lalu besok pagi pulang ke Ambarawa.
Kami kembali ke hotel dengan perasaan gondok di hati. Tapi setiba di hotel milik orang Cina bermarga Lie ini, aku hanya diam. Rasanya saat ini pun belum tepat memarahi Ruud. Aku tetap menahan diri. Entah nanti, sehabis makan malam.
Kami makan malam di jajaran rumah makan Cina dekat kelenteng Tay Kak Sie, berjalan kaki lima menit dari hotel. Aku suka sekali masakan Cina. Aku makan dengan lahap mi campur kekian, pangsit, siomay, tahu, udang, caisin, daun bawang. Karena lezatnya, aku lupakan marahku. Aku ingat petuah mendiang ibuku, ”jangan bermuka masam di saat sedang makan”.
Aku bahkan tetap menjaga mukaku supaya tidak terlihat marah, atau hendak marah, ketika sehabis makan kami berjalan kaki kembali ke hotel. Di sebelah hotel ada toko kecil. Ruud ke situ membeli dodol. Rupanya dodol kesukaannya yang biasa dia bawa ke rumah, dibelinya di toko ini.
Setiba di hotel, aku berubah pikiran, tidak jadi marah pada Ruud.
Aku ambil koran di meja resepsionis, lantas duduk di zice tengah lobi, sementara Ruud mengambil kunci dan berjalan masuk ke kamar, menyimpan dodol yang baru dibelinya.
Aku tertegun membaca nama koran yang aku pegang. Nama koran ini Mata Hari. Ini koran berbahasa Melayu yang di­terbitkan oleh Oei Tiong Ham, disebut-sebut sebagai ”raja gula” dari Semarang yang mendapat restu pemerintah Belanda untuk memotong kuncir taucang di ujung abad ke-19. Aku tertegun lagi membaca iklan rokok di koran ini yang menyebut-nyebut juga Mata Hari:
JANG
Di antero tempat tertampak sorotnja
Mata Hari
di sitoe boleh dipastikan ada pendjoeal
woor C.B. & K. dan roko
”ENG SIONG”

Aku senang membaca Mata Hari. Berkelana pikiranku ke mana-mana, melihat dalam imajinasi, suatu teka teki tentang kehidupan yang misterius, bahkan tak terpahami oleh kata-kata pandai narasi puisi sekalipun.

69) dijawakan menjadi ’grejo Blenduk’, sekarang GPIB


Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/21/0248275/aku.mata.hari.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar