Jumat, 25 Juni 2010

haa iki "Towil Fiets van Sentolo"

"Towil Fiets van Sentolo"
Jumat, 25 Juni 2010 | 03:24 WIB

Desa Bantar, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, yang semula tak terkenal tiba-tiba ramai didatangi pelancong luar negeri. Hampir tiap minggu ada saja rombongan yang datang dari Belanda.
Adalah Muntowil (36), pemuda setempat, dan sepedanya yang mendatangkan para turis ke desa itu sejak dua tahun lalu.
Dengan kreativitasnya, Muntowil menawarkan paket wisata keliling desa dengan ontel. Towil menamakan paket wisatanya Bale Onthel, di agen wisata di Belanda dikenal ”Towil Fiets”.
”Saya bawa turis ke pusat kerajinan, pembuatan tenun, pembuatan tempe, dan sawah. Lihat orang masak di pawon atau ikut tanam padi. Memperkenalkan jajanan tradisional di tengah sawah sambil minum kelapa muda,” kata Towil, panggilan Muntowil ini.
Dengan biaya Rp 300.000 per orang, para pelancong diajak menikmati suasana desa. ”Peternakan marmut, bahkan pasar tradisional di tepi jalan juga menarik para bule,” katanya.
Walau tak ada obyek wisata alam populer atau candi, kehidupan warga desa ternyata menarik bagi turis. Barangkali, suasana desa yang asri dan asli ini mengingatkan para pelancong dari Belanda dengan romantisisme Hindia Belanda yang pernah menjadi negara jajahan mereka.
Para pelancong juga dibawa Towil berkunjung ke sekolahan dan berdialog langsung dengan siswa. ”Ini sekaligus pendidikan lintas budaya,” kata mantan agen eksportir kerajinan ini.

Berawal dari sepeda

Kisah Towil Fiets bermula pada kecintaan Towil pada sepeda ontel sejak 2005. ”Ketika bermain ke rumah teman, ada sepeda ontel merek Raleigh. Saya tertarik, kemudian saya beli.”
Sepeda itu kemudian dibeli seorang agen kerajinan asal Australia yang berkunjung. ”Dia tertarik dan langsung membelinya. Beli Rp 800.000, saya jual Rp 1,5 juta,” kata lelaki yang pernah menjadi pelayan di rumah makan di Prambanan ini.
Towil pun membeli sepeda ontel lagi, merek Humber. ”Sejak beli sepeda kedua inilah pikiran saya mulai kacau. Semua impian terkait sepeda melulu,” katanya.
Tahun 2006, ada pameran sepeda di Bentara Budaya Yogyakarta. ”Saya datang dan membeli buku katalog 10 eksemplar buat koleksi dan untuk dikasih ke teman-teman,” katanya.
Suatu malam di Yogyakarta, Towil nongkrong di Malioboro dengan sepedanya. Dia bertemu lelaki paruh baya, mengaku kolektor ontel dari Kediri. Mereka lalu berbincang soal ontel.
”Saya bilang, kalau saya punya buku soal sepeda. Langsung saja orang itu tertarik. Saya dipaksa mengambil buku itu, mau dibeli. Saya bilang, gak usah beli, saya kasih saja, tetapi saya enggak bisa ambil saat itu. Rumah saya jauh, sudah malam lagi,” katanya.
Namun, lelaki yang baru dikenalnya itu memaksa Towil mengambil buku ke rumahnya, yang berjarak 20 kilometer. ”Saya akhirnya pulang ambil buku. Sampai di rumah langsung balik lagi ke Malioboro. Saya berikan gratis, tapi dia memaksa memberikan uang,” kata Towil.
Lalu, Towil diundang lelaki yang ternyata bernama Amir Fattah itu ke Kediri. ”Katanya, dia punya banyak koleksi sepeda, ratusan sepeda, saya tidak percaya waktu itu,” katanya.
Towil akhirnya berkunjung ke Kediri, memenuhi undangan itu. ”Sampai ke rumahnya saya kaget. Ternyata, dia kolektor besar. Ada ratusan ontel. Dari situ, saya mikir, sepeda, kok, mangkrak gak dipakai,” katanya.
Pulang dari Kediri, Towil makin tergila-gila dengan ontel. Bersama kawan-kawannya, dia mendirikan Pagoeyoeban Onthel Djokdjakarta atau Podjok, 19 November 2006.
Pekerjaan Towil sebagai agen eksportir kacau. Mitranya komplain karena kerja tidak fokus. ”Saya sempat berpikir, apa mau jualan sepeda dan onderdil aja. Ah, tidak. Akhirnya, saya pilih wisata sepeda. Tahun 2007, dengan memanfaatkan jaringan saya di Belanda, wisata sepeda mulai terealisasi,” katanya.
Kini, di rumah Towil, ada puluhan sepeda aneka merek, yang siap dipakai jika wisatawan Belanda datang. Sebagian didatangkannya langsung dari Belanda.

Wisata ke gunung

Tak hanya ontel, wisata bersepeda gunung (mountain bike) juga mulai populer di Yogyakarta. Indy Barata, Wakil Ketua Bike to Work Yogyakarta, mulai merintis wisata bersepeda gunung di lereng Merapi, Yogyakarta.
”Awalnya, enggak sengaja, saya kedatangan tamu suami-istri yang minta dibawa keliling Yogyakarta dengan sepeda. Lalu saya pun menjamu mereka, selain jalan-jalan dengan sepeda. Mereka tanya-tanya dari mana dananya untuk mengurus perjalanan bersepeda, saya bilang iuran teman-teman saja,” kata Indy.
Keduanya menyarankan Indy lebih profesional seperti di Bali. ”Jadi, wisatawan dikenai biaya paket saja, semua yang ngurus kita. Di Bali, biaya guide per sepeda katanya Rp 1 juta–Rp 1,5 juta sudah termasuk sewa sepedanya,” ujar Indy.
Namun, karena yang meminta diantar berwisata sepeda biasanya teman-teman dari kota lain, Indy masih segan mematok tarif. ”Biasanya, teman- teman yang mau main ke Yogyakarta mengajak saya, kemudian saya akan atur perjalanannya sesuai permintaan,” kata Indy.
Lalu dia menyiapkan makanan dan kendaraan untuk mengangkut sepeda ke Merapi. ”Mereka biasanya kemudian memberikan uang untuk sarana-prasarana itu. Tak ada tarif khusus, terserah mereka saja,” katanya.
Ke depannya, Indy bermimpi bisa lebih profesional dengan tarif tertentu. Sepeda memang tak hanya moda transportasi. Di tangan orang-orang kreatif, sepeda juga bisa menjadi alat ekonomi.(Amir Sodikin/Ahmad Arif)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/25/03242018/towil.fiets.van.sentolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar