Rabu, 30 Juni 2010

haa iki Cintai Yogya, Cintai Sepeda...


KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sejumlah ruas jalan di Yogyakarta telah dilengkapi jalur khusus untuk pengguna sepeda sebagaimana ditemukan di Jalan Panembahan Senopati, Selasa (29/6). Pengguna sepeda juga mendapatkan fasilitas ruang tunggu sepeda di sejumlah persimpangan jalan.
45 TAHUN
Cintai Yogya, Cintai Sepeda...
Rabu, 30 Juni 2010 | 04:43 WIB

Dua penggal puisi getir budayawan Sindhunata itu serasa pas menggambarkan Kota Yogyakarta saat ini. Gambaran tentang Yogyakarta sebagai kota sepeda tampaknya hanya kenangan masa lalu, yang kini sudah sulit ditemukan lagi.
Di mana-mana mobil dan sepeda motor. Yogyakarta mulai menjiplak dosa kota-kota lain di negeri ini, terutama Jakarta, yang memandang kemajuan dari motorisasi kendaraan pribadi.
Pukul 01.00 dini hari di sepanjang jalan Yogyakarta-Bantul, dalam gigil dingin setelah gerimis mengguyur, kami mencari jejak roda-roda sepeda yang dulu pernah menghidupi kota ini. Adalah Muntowil, Ketua Paguyuban Onthel Djogjakarta, yang mengisahkan rombongan perempuan bersepeda yang pergi ke pasar setiap dini hari sambil membawa obor.
Namun, hingga menjelang subuh hingga hampir semua pedagang memasuki pasar, mbok-mbok dengan obor itu lebih menyerupai legenda dibandingkan dengan kenyataan. Kebanyakan pedagang pergi ke pasar naik sepeda motor atau angkutan umum. Hanya beberapa yang melintas dengan sepeda, tetapi tak ada lagi obor. Yogyakarta sepagi itu sudah benderang oleh lampu listrik dan ramai deru kendaraan bermotor.
Ketika siang datang, gambaran tentang Yogyakarta yang maunya bergegas, walau ternyata justru macet karena saking banyaknya mobil dan sepeda motor, semakin menegas. Lalu lintas Yogya mengingatkan pada Jakarta. Mobil-mobil memacetkan jalan.
Ke mana perginya ontel-ontel tua dan penunggangnya yang dikenal ramah itu?
Kerinduan pada wajah Yogyakarta yang ramah itu terbayar oleh perjumpaan dengan Mbah Lanjar (77), penjual tape bersepeda ontel asal Janti, Sleman, Yogyakarta. Lelaki sepuh itu serasa pas mewakili Yogyakarta masa lampau. Yogyakarta yang penuh cinta.
Mbah Lanjar merasa sehidup semati dengan sepeda. Sudah 35 tahun dia berjualan dengan bersepeda. Walau di rumahnya sudah ada sepeda motor, dia tak mau menggunakannya.
”Kalau naik sepeda motor atau sama sekali berhenti bersepeda, badan saya sakit semua. Jadi, bersepeda ini membuat saya sehat. Setua ini saya tak pernah ke rumah sakit,” katanya.
Dia adalah saksi kejayaan sepeda ontel di Yogyakarta. Sebelum tahun 1970-an, menurut Mbah Lanjar, jalanan Yogyakarta disesaki sepeda ontel. ”Sampai berlapis-lapis memenuhi jalan. Kini, sepeda sudah digantikan sepeda motor. Saya juga disuruh anak saya agar memakai motor, tetapi saya enggak mau,” kata dia.
Dengan bersepeda, Mbah Lanjar merasa tak turun harkat dan martabatnya. Fungsi sosial di jalanan pun masih ia jalankan dengan menyapa ramah para pelanggan dan mengobrol soal apa saja, termasuk soal sepeda ontel. Tak hanya berjualan, ia sekaligus membangun kekerabatan dengan para pelanggan.
Hampir setiap siang, biasanya pukul 12.30, Mbah Lanjar nongkrong di Kantor Institute of Development and Economic Analysis (IDEA), lembaga penelitian di Yogyakarta. Di kantor itu ia sudah dianggap sebagai warga IDEA. Begitu datang, dia duduk mengaso di dalam kantor, mendapat jatah teh manis, dan mengobrol dengan para peneliti di bidang ekonomi itu.
Begitu diajak bicara tentang Yogyakarta masa lalu dan ontel, Mbah Lanjar yang seharian bersepeda tiba-tiba bersemangat lagi. Dia akan menerangkan soal pernik-pernik sepeda, juga tentang bagaimana wajah Yogyakarta pada era kejayaan sepeda.
Namun, begitu tersadar pada kenyataan masa kini, wajahnya tampak kecewa, terutama ketika dia terkenang peristiwa dua tahun silam saat sepedanya ditabrak sepeda motor yang ngebut. ”Yogya sudah disesaki sepeda motor. Cucu saya juga enggak mau bersepeda, duh gimana lagi,” katanya.

”Segosegawe”

Sadar akan lalu lintas Kota Yogyakarta yang makin disesaki kendaraan bermotor, warga kota ini pun makin resah. Tak terkecuali Pemerintah Kota Yogyakarta. Sebuah ikrar dibuat: ”segosegawe”, sepeda kanggo sekolah lan nyambutgawe. Artinya kurang lebih adalah ajakan menggunakan sepeda ke sekolah dan pergi ke tempat kerja.
Tak hanya berslogan, Pemerintah Kota Yogyakarta maju selangkah dibandingkan dengan kota-kota lain. Mereka membuat jalur sepeda di jalan utama, memberi arah jalur alternatif buat pesepeda, dan membuat ruang tunggu pesepeda di sejumlah lampu merah. Lebih dari itu, aparat pemerintah kota ini pun mau memberi contoh.
Setiap hari Jumat, lingkungan Balaikota Yogyakarta tak boleh dijamah kendaraan bermotor. Hanya pejalan kaki serta sepeda kayuh dan becak yang boleh memasuki kawasan ini. Beberapa pejabat yang rumahnya di luar kota biasanya menaruh kendaraan bermotor mereka di batas kota, lalu bersepeda ke tempat kerja. Adapun Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, yang gila bersepeda, memilih bersepeda dari rumahnya ke kantor.
Sejak diikrarkan dua tahun silam, gerakan ”segosegawe” ini masih tertatih. Jalur sepeda yang dibuat dari cat putih di aspal lebih sering dipakai parkir mobil atau becak. Walaupun jumlah pesepeda bertambah, pertambahan kendaraan bermotor lebih berlipat lagi.
Yogya tak boleh menyerah. Setidaknya, gelora cinta pada Yogya yang diwujudkan dengan bersepeda itu mulai bersemi kembali. Masih ada harap sebagaimana diingatkan Sindhunata: //... Sepeda onthel sepeda Jawa/Saksi mata bagi kita/Kota ini pernah bersemi dengan cinta...//
(Ahmad Arif/Amir Sodikin)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/30/04432298/cintai.yogya.cintai.sepeda...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar