Selasa, 22 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 44

AKU MATA HARI
Remy Sylado
Minggu, 20 Juni 2010 | 03:25 WIB

”Ya. Itu yang saya lihat.”
”Bertualang dengan tubuh, bukan dengan jiwa? Jadi, itu benar?”
”Maaf.”
”Apa itu fatal?”
”Mungkin itu hanya berbahaya.”
”Hanya berbahaya? Bukan fatal?”
”Tidak ada yang fatal dalam setiap permainan bahaya selama pelakunya memainkan perannya secara sadar dan terencana. Lain halnya kalau pelakunya melibatkan jiwanya dalam permainannya itu.”
”Sekarang, bagaimana caranya supaya bisa menghambat permainan tualang yang melibatkan jiwa itu?”
”Saya bukan penasihat untuk hal-hal seperti itu.”
”Tapi kesimpulan apa yang bisa saya ambil?”
”Saya hanya ingin bilang: setiap orang bisa berubah dalam menghadapi keadaan-keadaan darurat. Yang dihadapi suami Anda itu hanya peristiwa darurat. Semua orang bisa menghadapi hal seperti itu. Termasuk Anda sendiri.”
Aduh! Pikiranku seperti terbentur-bentur mendengar omongan René. Dia tidak menjawab secara gamblang apa yang aku harapkan. Keterangan-keterangannya membuat aku merasa dijepit oleh perangkat teka teki.
Tapi, kalimatnya yang terakhir seperti paku berkarat menancap di tumit. Barangkali suatu waktu nanti kata-katanya itu akan menjadi pertimbangan tersendiri dalam pikiranku.
Toh aku bertanya dengan harapan ada jawaban yang bisa aku lakukan dalam waktu singkat berikut ini.
Sekarang apa cara terbaik yang mesti saya lakukan?”
Jawab René, ”Pulanglah dengan lapang di hati. Kalau kepala panas, pasti hati terbakar, dan badan pun hangus. Nah, nanti sepulang di rumah, minum yang dingin-dingin dan makan yang manis-manis, supaya kepala tidak panas dan hati tidak pahit.”
”Saya tidak suka makan yang manis-manis. Ruud yang suka sekali. Dia suka dodol.”
”Oh ya?”

23
Ruud pulang pada Minggu siang. Kelihatan sekali dia ingin tampil dengan membuat dirinya selugu mungkin.
Aku hanya memandang dengan ekormata.
Dia memberi tabik padaku.
Aku tidak merasa perlu menjawab.
Dia kecup pipi Norman John dalam gendonganku.
Aku pun tidak hirau samasekali.
Kalau aku mau, siang ini juga aku bisa mendamprat dia, mengatakan apa yang dikatakan René padaku.
Tapi aku pikir-pikir, aku timbang-timbang, harus menunda dulu, sampai waktunya aku merasa pas untuk melakukannya. Aku putuskan untuk melakukan itu pada minggu depan.
Rencana yang sudah diatur, pada akhir pekan di minggu depan kami akan ke Semarang, sesuai permintaanku, untuk jalan- jalan dan cuci mata. Sekalian aku berharap, siapa nyana di Semarang nanti aku mendapat sesuatu yang tak diduga-duga, misalnya rahasia yang selama ini tersembunyi, bisa terkuak.
Dengan kereta api dari Stasion Willem I Ambarawa, kami ke Semarang melalui Kedoengdjati dan Karangawen, turunnya di Djoernatan, lalu berjalan melewati tembok penjara khusus bangsa Eropa, Centraal Gevangenis voor Europeanen, ke Hotel Swatow di Pekodjanweg. Ada sepasang ciok-say di depan hotel.
Resepsionis di hotel ini melihat wajahku dengan takjub. Lalu dia memandang seluruh tubuhku. Agaknya dia heran melihat penampilanku: bulek bersarung batik.
Dari hotel ini kami menyewa cikar, bentuk pedati dua roda sisa zaman penjajahan Inggris di Indonesia—dari kata bahasa Inggris kelahiran sini, ’cheek-cart’, yaitu ’cheek’: either of the buttocks, dan ’cart’: a conveyance of heavy goods—meluncur di Heerenstraat.

66) sekarang menjadi kompleks pertokoan
67) sekarang Jl. Pekojan
68) patung singa

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/20/03250150/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar