Minggu, 13 Juni 2010

haa iki Negeri "Nobar"

Negeri "Nobar"
Sabtu, 12 Juni 2010 | 04:40 WIB
Oleh Budiarto Shambazy

Selama 15 kali Piala Dunia modern seusai Perang Dunia II 1950-2006, hanya empat kali tuan rumah menjadi juara: Inggris 1966, Jerman Barat 1974, Argentina 1978, dan Perancis 1998. Tak aneh Afrika Selatan tak masuk hitungan.
Tuan rumah sering gagal jadi juara: Brasil 1950, Swiss 1954, Swedia 1958, Cile 1962, Meksiko 1970 dan 1986, Spanyol 1982, Italia 1990, Amerika Serikat 1994, Jepang/Korea Selatan 2002, dan Jerman 2006. Namun, lomba tuan rumah makin sengit.
Lomba 2018 telah dimulai—Brasil terpilih untuk 2014. Akibat persaingan tradisional Amerika Selatan versus Eropa, Sang Benua Tua minta jatah 2018 lewat Inggris dan Spanyol-Portugal. Akhirnya dua calon non-Eropa, Australia dan Amerika Serikat, mengalah ke 2022.
Kenapa tertarik menjadi tuan rumah? Padahal, Afsel menghabiskan 4 miliar dollar AS untuk pesta global ini, sementara profit bersih hanya ratusan juta dollar AS. Pihak yang paling beruntung cuma FIFA yang kini punya uang kas sekitar 1 miliar dollar AS.
Sebab, Piala Dunia (juga olimpiade) menaikkan pamor bangsa di pergaulan internasional. Piala Dunia rite de passage (transisi penanda) negara yang beranjak dewasa menjadi kekuatan yang layak dihitung. Secara ekonomis, ia lepas landas menjadi negara industri.
Biaya besar tak soal, apalagi negara berdekatan bisa co-hosts, seperti Korea Selatan-Jepang 2002. Mereka bangun 8-12 stadion yang setelah Piala Dunia secara komersial rugi karena tak berfungsi. Namun, setidaknya ada peluang menoreh rekor mercusuar membangun stadion serba ”ter”, seperti Maracana di Rio de Janeiro (Brasil) atau Allianz Arena di Muenchen (Jerman).
Secara politis, lamaran Afsel masuk forum kerja sama BRICS (Brasil, Rusia, China, India dan Afrika Selatan) kelak akan makin diperhitungkan (sekarang masih BRIC). Hubungan Korea Selatan dan Jepang, yang sebelum 2002 sarat syak wasangka tradisional, jauh membaik.
Bisa dibayangkan bagaimana dunia memandang pamor Brasil jika menjuarai Piala Dunia Afsel untuk yang keenam kalinya. Tahun 2014, Brasil tuan rumah Piala Dunia dan tak mustahil mencatat rekor tujuh kali jadi juara. Dua tahun setelahnya mereka tuan rumah Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Wow!
Brasil mencatat rekor unik: tersering merebut gelar lima kali (1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002) di Benua Eropa, Amerika Selatan, Amerika Utara/Tengah, dan Asia. Rekor Pelatih Dunga, yang enggan mempraktikkan jogo bonito (sepak bola indah), impresif: sebagai pelatih memenangi 45 dari 63 pertandingan.
Suka atau tidak, berbagai hasil jajak pendapat menunjukkan Brasil favorit juara. Jajak pendapat Reuters di 23 negara menghasilkan Brasil dipilih 31 persen dari 12.000 responden. Lalu survei Sport Press Association membuktikan 28,3 persen dari total 200 wartawan 97 persen juga memilih Brasil.
Rumah-rumah taruhan berbeda karena Spanyol yang justru dijagokan sebagai juara dunia untuk pertama kalinya. Spanyol, yang dianggap tim terbaik di Bumi saat ini, berpeluang mengawinkan gelar juara Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 menyamai rekor Jerman Barat dan Perancis.
Mampukah Spanyol? Hasil Piala Dunia kadang ditentukan hal-hal yang muskil, tetapi mengandung kebenaran. Kemuskilan utama, belum ada tim Eropa yang pernah juara di luar benuanya. Percaya enggak percaya!
Tentu enam mantan juara (Uruguay, Italia, Jerman, Inggris, Argentina, dan Perancis) berpeluang meski persentase kans mereka di bawah Brasil dan Spanyol. Lebih penting lagi, banyak yang memperkirakan Afsel akan menjadi tim Benua Hitam pertama ke semifinal.
Mengapa? Sebab faktor atmosfer ternyata menentukan. Dari 2,88 juta tiket, hampir 100 persen terjual dan untuk yang berharga murah hanya boleh diborong warga Afsel. Ini taktik jitu yang pernah dilakukan panitia di Korea Selatan yang lolos ke semifinal tahun 2002.
Jadi, jangan anggap sepele faktor tuan rumah karena yang bukan favorit mampu lolos ke perempat final, seperti Korea Selatan 2002, Meksiko 1986, atau Spanyol 1982. Jika tuan rumah disusupi fanatisme ekstrem, semua bisa terjadi seperti Korea Selatan yang menjungkalkan Spanyol dan Italia.
Semua berpulang ke satu hal: nasionalisme. Walau hadiah juara dunia ”hanya” 30 juta dollar AS, tiap negara ingin melambaikan bendera di podium. Ini bukan flag-waving nationalisme, melainkan semangat kolektif agar mendapat tempat di klasemen papan atas dunia.
Semangat kolektif ini yang tak ada lagi karena, seperti kata Einstein di awal kolom, kita terjebak ”insanity” berkepanjangan. Selama setahun kita berkutat dalam persoalan itu-itu saja kayak ujung tombak yang jago berputar-putar di muka gawang lawan tak berani tendang bola.
Kita negeri yang, seperti aksi bintang-bintang video itu, ”mirip-mirip” saja alias tidak orisinal. Kita cuma mampu ”nobar” (nonton bareng) siaran langsung sepak bola dan video heboh itu, tanpa perlu memiringkan kepala ketularan Gedung DPR yang memang miring—entah sebagian penghuninya dari Setgab Koalisi atau bangunannya.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/12/0440234/negeri.nobar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar