Selasa, 29 Juni 2010

haa iki Petualangan Orang "Biasa"


KOMPAS/AHMAD ARIF
Agus Budianto (38), tukang batu dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, bertualang sendirian dengan sepeda ontel dari rumahnya ke Malang, Jawa Timur, sejauh sekitar 300 kilometer, akhir bulan lalu. Hampir sebulan sekali dia bertualang ke luar kota dengan ontelnya.
45 TAHUN
Petualangan Orang "Biasa"
Selasa, 29 Juni 2010 | 05:21 WIB

Petualangan bisa dilakukan siapa saja. Prinsip itulah yang dianut para petualang bersepeda ontel, yang menyusuri jalanan bermodal dengkul dan kebaikan hati sesama.
Didin ”Kodjam” (21) meninggalkan keluarga dan kampungnya di Jambi sejak 10 Desember 2009. Obsesinya, mengelilingi Indonesia dengan ontel. Hampir setengah tahun perjalanan, dia telah menjelajah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, hingga Flores di Nusa Tenggara Timur. Kini, dia masih menjelajahi kota-kota di Pulau Jawa.
Didin yang menambah nama belakangnya dengan ”Kodjam”, kependekan dari Komunitas Ontel Djambi, nekad pergi bermodalkan uang Rp 70.000 dan sepeda Fongers yang dibelinya seharga Rp 100.000 pada September 2009. Ditinggalkannya pekerjaan di perusahaan percetakan. ”Saya ingin punya banyak teman dan melihat daerah lain. Prinsip saya, satu ontel jutaan keluarga,” kata pemuda tamatan SMP ini.
Didin bertahan hidup dari kebaikan hati masyarakat, terutama dari komunitas ontel. Suatu ketika, di Bima, Nusa Tenggara Barat, hujan deras mengguyur. Tenaganya terkuras habis di jalan mendaki. Kelelahan dan rasa lapar memaksa Didin berhenti di sebuah rumah di puncak bukit.
Seorang anak usia SMP, dan adiknya yang masih kecil, menyambutnya. Orangtua kedua bocah itu bekerja di kebun. Didin meminta izin berteduh kepada sang bocah. ”Saya katakan kepada mereka bahwa saya tengah bertualang dengan sepeda dari Jambi,” kata Didin.
Tanpa diminta, sang bocah tiba-tiba berkata, ”Jambi pasti jauh. Abang pasti capek. Saya masak dulu, ya.” Beberapa saat kemudian, anak itu menyuguhinya nasi dan telur goreng. ”Itu makanan terenak yang pernah saya rasakan,” kata Didin. Namun, tak selamanya perjalanan mulus. ”Saya sering diejek sebagai orang gila, juga pernah dikejar anjing dan monyet,” kata dia.
Di mata Didin, Jakarta adalah kota terkejam. ”Malam itu saya sakit. Perut juga belum diisi seharian. Saya putuskan istirahat di salah satu gedung di Jalan Veteran. Namun, baru istirahat 10 menit, saya diusir satpam. Saya minta izin sebentar lagi, malah diancam dengan pentungan,” kata dia.
Lain lagi kisah Agus Budianto (38), tukang batu dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah. Malam itu, Agus baru tiba di Malang, Jawa Timur, setelah menempuh 26 jam perjalanan dari Solo, untuk mengikuti pawai ontel. Keterbatasan biaya membuatnya nekat menempuh jarak sekitar 300 kilometer dari Solo-Malang dengan bersepeda. Bekal perjalanannya hanya Rp 30.000, hanya cukup buat makan. Untuk tidur, Agus menumpang di masjid.
Demi perjalanan ini, Agus bolos dari pekerjaannya. Artinya, buruh harian ini kehilangan pemasukan. Bahkan, Agus juga terancam kehilangan pekerjaan, sebagaimana pernah dialaminya, dipecat gara-gara bolos kerja karena bersepeda ke Semarang.
Selain pergi ke tempat kerja dengan bersepeda, hampir dua minggu sekali, Agus juga bertualang ke luar kota dengan ontel. ”Rezeki sudah ada yang ngatur, yang lebih penting kepuasan batin. Saat duduk di atas sadel sepeda, segala masalah sudah lupa. Kalau dipecat, cari kerja lain,” kata lelaki yang bermimpi bisa keliling Indonesia dengan ontel ini.

Usia bukan halangan

Sebagaimana Didin dan Agus, Riyadi (74) juga bertualang dengan sepeda ontel. Hampir tak ada pawai ontel yang tak diikuti warga Purworejo, Jawa Tengah, ini. Ia hampir selalu datang ke pesta ontel dengan bersepeda, seperti ke Bandung, Kediri, Yogyakarta, Solo, dan Malang.
Pada pertengahan Juni 2010 pensiunan pegawai negeri sipil ini bertualang naik ontel hingga ke Madura bersama temannya, Slamet (66). Slamet adalah pensiunan tentara, dengan pangkat terakhir kopral.
Usia tak menghalangi kedua petualang sepuh ini. ”Makin tua makin kuat. Contohnya Mbah Riyadi ini, kuat sekali. Ia sudah istirahat, habis rokok dua batang dan kopi tiga gelas, belum bisa tersusul juga,” kata Slamet.
Sepanjang perjalanan, mereka menginap di rumah kenalan, losmen murahan, dan sesekali di masjid. Mereka mengaku mencintai sepeda. ”Sejak kecil saya bersepeda. Selain karena senang, sepeda juga untuk olahraga. Kalau diam saja badan malah sakit. Saya tinggal menunggu waktu. Maunya bersepeda sejauh yang saya bisa,” kata Riyadi.
Anak-anaknya sudah bekerja. Ia merasa tugasnya sebagai orangtua sudah purna. Adapun bersepeda sudah jadi perjalanan spiritualnya. Jika pun ada yang membebani pikirannya saat bertualang adalah hewan piaraannya. ”Saya punya banyak ayam, ikan, dan burung. Tetapi, Mbah Putri bisa atasi,” katanya.
Tak ada prosesi atau sambutan berlebihan bagi mereka. Pun tak ada dukungan sponsor. Mereka melakukan perjalanan itu lebih karena dorongan hati, bukan demi popularitas.
Didin, anak pertama dari empat bersaudara ini, mengaku menemukan pengalaman berharga di jalan. ”Saya belajar sabar, ikhlas, dan kebaikan hati,” ujarnya. Selain itu, Didin mulai membaca buku dan menulis, kegiatan yang tak dikenalnya di masa lalu. ”Perjalanan ini mengubah saya,” kata Didin yang rajin mengunggah kesan perjalanan di jejaring sosial Facebook.
Lain lagi dengan Riyadi, yang mengaku menemukan gairah hidup kala menemukan kawan baru di kota-kota yang disinggahi. ”Teman bertambah banyak, mulai bupati sampai petani. Semua sederajat jika sudah di atas sadel sepeda,” kata penggiat ”Pesodapur”, Persatuan Sepeda Ontel Daerah Purworejo ini.
Sementara Agus mengaku makin peduli lingkungan. ”Saya ingin menularkan virus tentang manfaat bersepeda kepada semua orang, terutama untuk mengurangi pemanasan global yang mengancam bumi akibat banyaknya kendaraan bermotor.”
Ditanya dari mana memperoleh kebajikan itu, tukang batu ini mengatakan, ”Dari jalanan, dari pergaulan. Walau saya hanya tukang batu, kawan saya di komunitas banyak mahasiswa dan sarjana.”
Petualangan, apalagi dengan bersepeda, memang bisa mengubah jalan hidup seseorang. (Ahmad Arif/Amir Sodikin)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/29/05213411/petualangan.orang.biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar