Senin, 28 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 52

AKU MATA HARI
Senin, 28 Juni 2010 | 04:39 WIB

Ternyata dia juling. Sejenak rasa repotku terlupakan.
Maksudku, repot menggendong bayi dan berbadan dua pula yang demikian rawan—mungkin sehari-dua ini melahirkan —lantas setiba di kantor Cremer, sang tuan masih tidak berada di tempat. Kata sekretarisnya yang gembrot itu, Cremer menyuruh aku menemuinya di gedung yang disebut-sebut sebagai tempat perkumpulan rahasia, yaitu gedung De Ster van het Oosten.
Untung saja jaraknya tidak jauh. Hanya satu belokan saja, aku sudah sampai di situ. Tidak perlu juga mengeluarkan keringat oleh panasnya Batavia.
Demi melihat perutku yang demikian besar, Cremer agak terkejut, dahi mengkerut, entah apa yang dipikirnya. Tapi dia segera menyuruh aku masuk ke dalam gedung.
Di dalam, sebelum dibawa ke ruang tengah, aku melihat wajah beberapa tuan yang kelihatan kaku dan misterius, selintas angkuh seperti tampang pejabat bodoh umumnya yang mengira dapat menunjukkan kesan berwibawa dengan mimik makan- bawang. Tapi tumben, salah seorang di antara mereka segera menggubit-gubitkan jarinya kepada Norman John dalam gendonganku.
Dari Cremer nanti aku mendapat gambaran bahwa orang- orang di gedung rahasia ini berpendirian bebas dari ikatan- ikatan agamawi Kristen yang merupakan pilar kerohanian selama sekian abad mewarnai peradaban Barat. Bahkan lebih ekstrim lagi, mereka di gedung itu, tegas menolak prinsip keyakinan gereja tentang kasih, karena dengan landasan itu gereja mengkritik kebijakan-kebijakan—yang tidak bijak—dari pemegang-pemegang kekuasaan koloni di Batavia.
Setelah menutup pintu ruangan, Cremer menyuruh aku duduk, lalu dia duduk pula di kursi ukir bervernis hitam, pas di hadapanku, dan bicara langsung pada inti masalah.
”Saya sengaja menyuruh kamu menemui saya di sini, supaya kamu tahu dari orang yang sangat tahu, mengenai keadaan negeri jajahan ini sekarang, bahwa di dalamnya ada dua kepentingan menyolok yang menyusahkan arah konsentrasi kami,” kata Cremer, lumayan tenang, sambil menatap aku seperti menguji. ”Nah, apakah kamu tertarik untuk mengetahui keadaan yang saya sebutkan itu?”
Jawabku segera, seakan tanpa berpikir, namun aku yakin bukan tanpa nalar, ”Ya. Itu menarik.”
”Baik,” kata Cremer, puas, tapi tidak menunjukkan gairah yang berlebihan. ”Berarti saya sedang bicara dengan orang— yang sejak pertemuan pertama di Borobudur itu—meyakinkan untuk bisa bekerjasama dengan kami.”
”Saya senang Anda memberi rasa percaya pada saya, Tuan Cremer,” kataku.
”Oh,” katanya, membuka kedua tangan, kesannya tawar. ”Panggil saja saya Jan.”
”Baik, Tuan Cremer,” kataku, kagok.
”Jan,” kata Cremer menandas.
”Oh, ya, ya,” kataku.
”Nah, begini, Lady MacLeod,” kata Cremer, lantas terhenti sejenak. ”O, ya, bagaimana pendapatmu saya menyebut dirimu Lady MacLeod?”
”Tidak masalah. Saya suka semua cerita tentang lady. Kecuali satu lady yang sudah lama saya lupakan: Lady Chapel.”
Cremer senang. Aku bisa merasakan rasa senangnya itu sejalan dengan pendiriannya tentang religiusitas.
”Kita makin cocok,” kata Cremer. ”Nah, dua kepentingan menyolok yang saya maksudkan tadi itu adalah, pertama: pertahanan status quo secara teritorial terganggu, sebab antara lain konsentrasi pada perang yang sedang berlangsung di Aceh, melebihi biaya yang diduga sebelumnya. Gagasan Snouck Hurgronje untuk mematahkan perang di Aceh itu melalui menimbulkan perpecahan di antara hulubalang dan ulama, tidak berhasil memadamkan gejolak. Kedua: konsentrasi juga terganggu karena kritik gereja terhadap pemerintah kolonial yang menyebut pemerintah telah melakukan kecurangan kemanusiaan terhadap penduduk di sini, dan akibatnya bias pada anak-negeri untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
82) sekarang gedung Kimia Farma, Jl. Budi Utomo
83)
kapel pada sebuah katedral untuk menakzimi Bunda Maria
84) usia 23 doktor sastra Arab, bernama Muslim: Abdul Gaffar

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/28/04391126/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar