Jumat, 25 Juni 2010

haa iki Mereka yang Merayakan Hidup dengan Bersepeda


KOMPAS/AMIR SODIKIN
Para pemburu trek asal Jakarta ini sedang menikmati suasana di titik peristirahatan "Warung Ijo" di trek lereng Gunung Merapi daerah Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kini, banyak pelancong luar kota yang berburu trek-trek menantang.

Mereka yang Merayakan Hidup dengan Bersepeda
Jumat, 25 Juni 2010 | 03:53 WIB
Oleh Amir Sodikin dan Ahmad Arif

”Hidup ini laksana naik sepeda. Untuk mempertahankan keseimbangan, kamu harus tetap bergerak.”
Perumpamaan Albert Einstein itu sudah seperti dogma di kalangan pesepeda. Penemu teori relativitas dan peraih Nobel Fisika tahun 1921 ini memang penggila sepeda. ”Saya berpikir tentang hal itu (teori relativitas) saat naik sepeda,” begitu kata Einstein.
Dengan bersepeda, semua pemandangan terbaik di jalanan bisa dinikmati. Banyak tokoh besar yang menemukan pencerahan saat bersepeda, juga tentu saja kesenangan. Sebagaimana dikatakan mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy, ”Tak ada kesenangan sederhana yang bisa dibandingkan dengan naik sepeda.”
Begitu pula Imson (50). Pengusaha dari Jakarta ini pun benar-benar menikmati kesenangan sederhana itu dengan bersepeda. Pada liburan akhir bulan lalu, bersama anggota komunitasnya ”de Pitts”, Imson khusus datang ke Yogyakarta ”hanya” untuk bersepeda.
Mereka datang ke Yogyakarta membawa sepeda, lalu menjajal jalur bersepeda di kota ini. Selain merasakan suasana bersepeda di Yogyakarta pada siang dan malam hari, penggila sepeda ini menjajal jalur tanjakan di seputar lereng Gunung Merapi.
Jumat pagi itu, anggota komunitas de Pitts yang terdiri atas pengusaha, pejabat, dan siswa sekolah menengah pertama tengah nongkrong di depan Warung Ijo, Pakem, Sleman. Warung yang menjual aneka jajanan tradisional itu adalah tempat pesepeda biasanya singgah, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menyusur jalur mendaki lereng Gunung Merapi. Awalnya, dunia bersepeda jauh dari benak Imson. ”Dulu saya ikut klub motor Harley Davidson,” katanya.
Adalah anaknya, Hanantri (13), yang menularkan virus bersepeda kepadanya. ”Bapak memang sukanya main motor, lalu saya ajak nyoba sepeda saja, biar lebih sehat,” tutur Hanantri.
Imson menuruti keinginan anaknya. Pada mulanya ia mau ikut-ikutan bersepeda dengan misi terselubung. ”Tujuan awal saya sebenarnya hanya untuk melihat pergaulan anak saya seperti apa, sudah bener atau belum,” ujar Imson.
Ketika bersepeda dan masuk ke komunitas anaknya, de Pitts, Imson terkaget-kaget karena ternyata teman-teman anaknya kebanyakan adalah orang tua. Kekerabatan mereka tanpa mengenal batas usia dan kondisi sosial. ”Wah, kaget saya, ternyata temannya tua-tua semua,” katanya.
Imson pun merasa menemukan dunia baru. Akhirnya, empat dari lima Harley Davidson miliknya dia jual, diganti sepeda. Di tengah komunitas bersepeda, Imson tak hanya menemukan suasana hangat, tapi juga ada bonus tambahan. ”Badan lebih sehat dan berat badan lebih stabil. Kalau saya naik Harley, satu bulan saja berat badan naik satu kilogram. Dulu berat badan saya 75 kg, sekarang susut jadi 70 kg,” katanya.
Dengan bersepeda, Imson merasa tak berjarak dengan masyarakat. Berbeda saat dia masih menjadi anggota salah satu klub motor Harley Davidson. ”Ibaratnya, kalau pakai sepeda, ngajak teman jajan di warung biasa saja sudah bisa, tetapi kalau pakai Harley pasti cari restoran yang oke-oke dulu,” katanya.
Sebagaimana Imson, Tondo (36) pun awalnya penggila Harley Davidson. Pemilik perusahaan konsultan teknologi informasi dan usaha laundry ini mengaku menemukan dunia baru dari sepeda. Dunia yang lebih sehat, lebih tak berjarak dengan alam serta masyarakat sekitar.
Sejak empat bulan lalu sepeda motornya dijual dan dia pun bergabung dengan de Pitts. ”Kalau di klub Harley, motor agak jelek sedikit dijauhin. Memang tidak semua klub begitu. Namun, di sepeda kita tidak dilihat dari sepedanya, yang penting dengkulnya,” katanya.
Tondo merasa lebih sehat dan segar sejak bersepeda. Kini hampir tak ada liburan yang tak dilewatinya dengan bersepeda. Tondo pun keranjingan menjajal jalur-jalur sepeda menantang di sekitar Jakarta, seperti Cikole, Rindu Alam, dan Gunung Bundar. ”Rencananya, setelah Yogyakarta, kami mau ke Bromo lalu ke Bali,” katanya.
Agoes Triboesono, anggota komunitas yang juga pejabat di Kementerian Energi dan SDM, mengaku menggandrungi sepeda. Tak hanya bersepeda di kala libur ke luar kota, Agoes juga bersepeda di tengah hiruk-pikuk lalu lintas Jakarta. ”Kalau saya malah sebaliknya, jika merasa stres, justru bersepeda, hilang sudah stres saya,” ujarnya.

Para guru

Tak hanya kalangan ekonomi mapan, bersepeda telah jadi hiburan semua kalangan. Jalur bersepeda ”Warban” di Kampung Sekejolang, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Bandung, menyatukan berbagai kelas sosial itu. Hampir tiap liburan, jalur bersepeda yang memperoleh nama dari warung yang menjajakan minuman bandrek itu dipenuhi pesepeda. Iwan Hermawan, guru SMA Negeri 9 Bandung, mengatakan, dia dan Komunitas Roda Dinas Pendidikan Kota Bandung hampir selalu mengisi liburan dengan bersepeda ke Warban.
Semangat mereka tak terpatahkan dengan kondisi jalur yang menanjak. ”Moto komunitas kami adalah ’matador’, manggih (bertemu) tanjakan dorong, ha-ha-ha,” kata Iwan.
Selain apa yang disebut Iwan memburu sehat, bersepeda juga sebagai ajang komunikasi yang efektif dengan rekan kerja serta atasan. ”Kalau sudah di atas sadel sepeda, kami enggak melihat dia wali kota, kepala dinas, atau anggota biasa,” kata Iwan.
”Pernah waktu bareng dengan orang dinas, sambil di atas sepeda saya bilang kalau saya bersama teman-teman besok mau demonstrasi soal tunjangan guru yang diturunkan. Dia (orang dinas) bilang jangan, tetapi saya tetap demo,” kata Iwan. Selesai unjuk rasa, Iwan kembali bersepeda bareng dengan atasannya di dinas pendidikan yang didemonya itu.
Sepeda menjadi tren di masyarakat. Di Perumahan Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, agenda bersepeda tiap akhir pekan telah menjadi program rukun tetangga di sana.
”Tiap (hari) Minggu atau hari libur kami jalan-jalan sekitar 12 orang. Ini sudah masuk program RT, kegiatan untuk olahraga, kesehatan, dan kebersamaan,” kata Bambang Sudarmaji, warga Purwomartani.
Program jalan-jalan dengan sepeda ini mau tak mau ”memaksa” mereka yang belum bersepeda ikut bersepeda. ”Saya terpaksa beli sepeda dulu agar bisa ikutan program RT ini, ya, ini, kan, demi kebersamaan,” kata Yayan Suryana, dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
”Kami ambil trek yang pemandangannya bervariasi, untuk rekreasi saja,” ujar Sugeng Raharjo, pegawai Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta, warga Purwomartani lainnya.
Apa pun alasannya, sepeda telah menyatukan mereka: orang-orang yang ingin hidup lebih sehat, lebih mengenal sesama, dan menyesapi alam serta kehidupan dengan lebih jernih.
Kembali ke Einstein, sebagaimana pernah dituturkan cucu murid Einstein yang juga Guru Besar Fisika Institut Teknologi Bandung Pantur Silaban, ”Einstein selama hidupnya tak pernah punya mobil.” Artinya, Einstein telah merayakan bersepeda sepanjang hidupnya....

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/25/03534289/mereka.yang.merayakan.hidup.dengan.bersepeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar