Minggu, 27 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 51

AKU MATA HARI
Remy Sylado | 51
Minggu, 27 Juni 2010 | 02:56 WIB

”Tadinya saya kira, orang Belanda, tentara-tentaranya itu, terbuat dari perunggu, kerikil, aspal, karang, semen, dan mata uang, sehingga mereka tidak punya malam dan siang, tidak pernah takut pada orang-orang yang tertindas, yang suatu waktu bisa bersatu kembali lantas melawannya.”
Aku ketawa lagi.
”Suami saya, yang sekali lagi hanya tinggal tunggu waktu untuk menjadi ’bekas suami’, bukan orang Belanda. Dia orang Skot.”
”Skot? Negeri mana itu?”
”Skotland itu di utara Inggris.”
”Lo? Inggris?”
”Ya.”
”Menurut cerita kakek buyut saya, orang Inggris itu baik terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono. Dulu, gubernur Inggris juga, eh, saya lupa namanya, yang pertama kali menggagas memperbaiki Candi Borobudur itu.”
Aku mengangguk.

29
Malam-malam di rumah kecil Mbah Kung aku mendengar deru banjir Kali Elo di bawah sana. Rupanya hujan deras telah turun di hulu, dan sebentar lagi turun juga di sini.
Belum dua menit setelah itu, tiba-tiba menggelegar bunyi guruh disertai halilintar, mengguncangkan dada, serasa jantungku copot. Dan, benar, hanya sekejap saja, hujan telah tumpah dari atas langit.
Hujan yang lebat ini segera mengganggu tidurku.
Genteng di atas, bocor, dan air hujan bukan hanya menetes dari situ, melainkan mengucur dan mencurah ke balai-balai tempat aku tidur bersama Norman John.
Lalu, karena air hujan membasahi badan Norman John, maka anakku ini terbangun pula, kaget, terguling, lantas jatuh di lantai, menangis. Naluri yang mendorongnya berdiri, tapi kakinya tak sanggup melakukannya.
Oh, ya, aku belum pernah mengatakan ini, bahwa sampai berusia dua tahunan, Norman John masih belum bisa berangkang, apalagi berdiri.
Di Batavia nanti seorang dokter Belgia beristri Cina yang berani mengatakan tentang mengapa Norman John tidak seperti anak-anak lain seusianya.

30
Di Batavia ’kami’ tinggal di rumah berlantai dua yang tangganya menukik di Citadel, depan kanal sebelah barat taman tropis yang permai Wilhelmina Park di mana pada jam-jam tertentu terlihat dari loteng, kereta listrik milik Electrische Tram Mij menembusinya ke pinggir Kali Ciliwung.
Dua hari setelah tiba di Batavia, aku mencari Cremer di kantornya, berkereta dari rumah lewat Rijkswijk ke timur jalan tempat terlihat reruntuhan katedral, terus ke Water­looplein dengan patung Jan Pieterszoon Coen di tengahnya, namun yang aku cari itu tidak ada. Kata sekretarisnya, perempuan gembrot dengan bahasa Belanda dialek Limburg, yang gerak-geriknya sangat lamban seperti itik pulang petang, bahwa kalau aku ingin bertemu dengan Tuan Cremer, harus buat janji lebih dulu. Dia tentukan waktu yang baik untuk kembali lagi ke sini pada hari tulat nanti.
Tulatnya aku datang ke kantor Cremer dengan menyewa sado, model kereta kuda lanjutan zaman penjajahan Prancis di Indonesia, dari bahasa Prancis dos à dos, maksudnya ’duduk dengan cara punggung-memunggung’.
Kayaknya seorang bulek hamil tua berkendaraan sado di Batavia pada tinggal beberapa bulan lagi tahunnya berganti menjadi 1900, terlihat aneh, sebab kendaraan yang lazim dipakai orang-orang Belanda jika bukan landaulet yang kap-nya bisa dilipat buka-tutup dengan dua ekor kuda yang menghelanya, tentu palankijn yang juga dihela oleh dua ekor kuda tapi tertutup penuh dengan atap dan dinding berjendela.
Sebelum naik sado, aku sempat merasa geli melihat kusir yang memegang tali sais. Dia bicara padaku, bertanya hendak kemana, tapi matanya melenceng kiri-kanan.

78) sekarang lokasinya menjadi Masjid Istiqlal
79) sekarang Jl. Veteran
80) katedral ambruk 9-4-1890, selesai dibangun kembali 1901
81) sekarang Lapangan Banteng

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/27/02560517/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar