Jumat, 25 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI (49)

AKU MATA HARI (49)
Jumat, 25 Juni 2010 | 03:14 WIB
Remy Sylado

Berulang kali, sampai datang surat resmi dari Batavia yang menegaskan Ruud dipindahtugaskan di kota besar itu, Ruud mencoba dengan sia-sia menyatakan penyesalannya dengan tiga bahasa yang dikuasainya— Inggris, Belanda, Prancis—tapi sumpah mampus demi nama ibuku, bahwa buku yang sudah ditutup itu sudah pula ditaruh di atas rak, dikunjungi debu- debu.
Aku tidur sendiri ditemani Norman John di kamar depan, dan Ruud di kamar tengah.
Tapi, dasar Ruud lelaki, dan dia lelaki ndableg, serta harus juga dibilang rai gedheg, maka selalu dia mencari peluang untuk melunakkan hatiku dengan cara-cara yang mirip adegan sandiwara amatir.
Jika malam-malam aku buka pintu, melilir hendak ke WC, dia pun lekas-lekas keluar dari kamarnya, menemui aku, sok-sibuk hendak menunjukkan atensinya. Dia berusaha omong manis-manis dengan nada yang lembut-lembut, tapi itu malah membuat aku makin muak. Aku membuat diriku sebagai patung, bergerak tanpa telinga tanpa mulut.
Ketika datang besluit untuk pindah ke Batavia pada pekan depan, di keesokan pagi aku nanap melihat pintu kamarku. Di situ tertempel secarik kertas berisi dua larik puisi Arthur Rimbaud:
Qu’ il vienne, qu’ il vienne
Les temps dont on s’ éprenne
Sertamerta aku berpikir akan menyobek kertas berisi puisi Arthur Rimbaud berjudul ”Chanson de la plus haute tour” ini, tapi kemudian aku berubah pikiran dengan cepat. Aku pun segera mencari lembar-lembar kertas berisi puisi Arthur Rimbaud yang dibawa Ruud dari Maison Bambou. Aku ambil puisi berjudul ”Matinée d’ivresse”. Aku tulis larik paling bawah, dan aku tumpuki itu di atas kertas yang ditempel oleh Ruud.
Voici le temps des Assassins.
Aku melakukan ini semata- mata karena telah mati hatiku untuk disandingkan kembali dengan Ruud. Aku tidak berpikir bahwa ujung dari suatu tindakan jail bisa berubah jadi hasil tindakan jali.

28
Aku berharap Didik bisa datang lebih awal di akhir bulan, agar bersamanya aku ke Borobudur lagi, anjangsono ke padepokan Mbah Kung sebelum aku berangkat ke Batavia. Siapa tahu aku tidak akan kembali lagi ke situ dalam waktu panjang.
Aku sendiri tak tahu, apa nama kunjungan ke Borobudur kali ini. Apakah ini benar suatu anjangsono yang terakhir?
Mauku mengatakan, tidak mungkin kata ’sono’ hanya sekali dalam ingatan. Kata ’sono’ dalam mana orang ber-’anjang’, niscaya akan terus menyambung dalam ingatan-ingatan haru yang menyebabkan orang itu ingin mengulang kesenangan atas keindahan di lain kesempatan. Rasanya tidak ada kembaran rasa indah yang lain, selain yang diberi oleh udara sekitar Borobudur. Di sini aku merasa damai: damai di bumi, damai di hati.
Mbah Kung pangling melihat aku datang kembali dengan badan yang hamil tua. Istrinya memegang-megang perutku dengan perasaan suka. Anaknya, Astri, mencium-cium tanganku. Mereka semua menyambutku dengan senyum riang ria. Sejenak aku menyimpulkan, bahwa orang Jawa, dalam mana aku merupakan bagiannya dari darah ibuku, adalah bangsa yang paling pandai menyambut tamu dengan senyum ramah seperti itu. Aku tidak tahu, apakah di zaman yang berubah nanti perangai ini masih bisa bertahan sampai 50 atau 100 tahun mendatang.
Dari cerita istri Mbah Kung, pada sekian bulan lalu, ketika aku minggat ke sini selama lebih seminggu, konon pada lebih enampuluh tahun lalu, daerah sekitar sini merupakan tempat gerilya pemberontak-pemberontak pelawan Belanda yang membunuh Belanda dengan bencinya, dipimpin oleh putra selir Sri Sultan Hamengkubuwono III.

71) Datanglah, datanglah/ Waktu-waktu untuk bersuka-suka
72) Nyanyiannya menara paling tinggi
73) Pagi harinya kemabukan
74) Kini waktunya pembunuhan

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/25/03145738/aku.mata.hari.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar