Rabu, 16 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 39

AKU MATA HARI
Selasa, 15 Juni 2010 | 03:14 WIB
Remy Sylado

Anganan paling murni adalah dalam nafsu yang melahirkan cinta berlanjut tanggungjawab.
”Oh, aku mengantuk, Ruud,” kataku.
Dan, dia tuntun aku ke ranjang.
Kelihatannya dia cinta aku.
 20
Seperti biasanya Didik datang ke rumah pada akhir bulan, membawa kebutuhan-kebutuhan dapur, kopi, susu, gula, teh, termasuk bir, dan rokok. Di sinilah menariknya menjadi opsir Belanda dari asal kebangsaan bukan Belanda. Semua keperluan bulanan dilayani dengan baik oleh serdadu pribumi.
Sebagai opsir Ruud tidak diransum seperti prajurit. Gaji Ruud pun pasti lebih tinggi dari serdadu pribumi. Ruud sendiri tidak pernah mengatakan berapa gajinya per bulan. Mungkin saja 5 atau 10 ribu.
Yang aku ketahui adalah gaji kopral. Didik yang mengatakan itu kepadaku. Dia memperoleh tunjangan per bulan di luar gaji, yang ditentukan oleh pemerintah kolonial berdasarkan golongan suku. Hanya tiga golongan saja yang diatur. Pertama Europeanen dengan tunjangan 31 sen, kedua golongan Ambonezen dan Menadonezen dengan tunjangan 27 sen, dan ketiga Javanen dengan tunjangan 20 sen.
Untuk kebutuhan lain, menyangkut membakar-bakar uang, yaitu rokok, tunjangan yang didapat Ruud masih dirasakan kurang, sebab Ruud perokok berat. Kalau misalnya bungkus-bungkus rokoknya disambung-sambungkan, mungkin panjangnya mencapai jarak dari ’s-Gravenhage sampai ’s-Hertogenbosch.
Selama di Indonesia ini, dia selalu mengisap rokok Victor Hugo, merek terkenal keluaran J. Baars & Zon sejak 1867, yang diimpor di Indonesia oleh Geo Wehry & Co, Ned. IndiĆ«. Aku pernah mencoba mengisapnya, tapi aku tidak suka, tidak tergoda bunyi iklan di kemasannya ”Good to the last inch”.
Demi menjaga bayi di kandunganku, memasuki bulan ke­empat, aku tidak berani coba- coba merokok, dan tidak mau pula coba-coba minum bir. Apalagi bir yang dibawa oleh Didik pada tiap akhir bulan, adalah bir yang aneh. Namanya Beck’s Koentji Bier. Di kertas etiket yang tertempel di botol tampak gambar kunci di dalam perisai bertuliskan ”Een Sleutel”.
Pagi ini Didik tiba di rumahku, membawa barang-barang kebutuhan dapur tersebut, pada seperempat jam setelah Ruud pergi meninggalkan rumah.
Kelihatannya dia prihatin melihat aku bekerja sendiri di rumah, dan oleh karena itu dia bertanya, apakah aku tidak butuh seorang babu bekerja di rumahku. Aku bilang tidak. Lalu pertanyaannya beralih, apakah aku tidak berniat lagi ke Borobudur, menari bersama-sama kumpulan seni pimpinan Mbah Kung. Aku bilang, tidak mungkin aku tidak berminat ke sana.
”Rasanya jiwa saya ada di sana,” kataku. ”Bagian dinding candi yang melukiskan dua penari itu serasa menjadi bagian dari tubuh saya. Tentu saja saya akan meminta pada jiwa saya untuk diam dalam tubuh saya mewakili keindahan kedua penari dari relief itu.”
”Saya tidak mengerti, Mevrouw,” kata Didik. ”Apa Mevrouw akan meminta pada Buddha?”
”Saya tidak tahu. Kalau tangan saya bisa masuk ke dalam rongga di patungnya, mungkin saya harus minta, bagaimana menjadikan diri saya dilapis roh keindahannya sewaktu saya menari nanti.”
”Mevrouw ingin menari lagi?”
”Malahan, dipikir-pikir, saya ingin jadi penari.”
Aku benar-benar naif ketika aku menyatakan ini. Tapi aku rasa, memang ada masalah dalam diriku yang telah merangsang secara alami untuk berkata begitu. Dalamnya tak sadar aku telah berpikir tentang suatu kemauan rohani untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan jasmani yang mungkin menghambat kemauan lain di baliknya.
Tak ada ambisi khas dalamnya, untuk sementara, tapi sekilas terbayang wajah Cremer. Dia telah meminta aku menulis nama dan alamatku, dan sampai sekarang aku belum tahu, apakah itu ada artinya bagi hidupku di hari esok yang masih buram.
Didik menggugah pikiranku.
”Mevrouw ingin jadi penari?” tanyanya takjub.
”Ya,” sahutku, sangat percaya diri, padahal terucapkan dalam keberanian yang tidak bebas.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/15/03145369/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar