Rabu, 30 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 54

AKU MATA HARI
Rabu, 30 Juni 2010 | 04:42 WIB

Sebelum memeriksa, Hoedt menyuruh aku menaruh saja Norman John di ranjang dekat situ, lalu menuntun aku berbaring di ranjang yang lain.
Kemudian, sembari melakukan pekerjaannya, menyuruhku dengan tidak lisan tapi dengan mendorong kedua lututku supaya aku bisa mengangkang di atas ranjang, dia bercerita jenaka—dalam bahasa Belanda disebut ’moppig’ atau ’mop’—tentang perbedaan antara orang Arab dan orang Cina.
Katanya, ”Anda tahu beda orang Cina dengan orang Arab?”
”Tidak,” kataku enteng, tapi disertai juga dengan jerit geli karena dia memegang sesuatu yang sangat sensitif di tubuhku.
”Begini,” kata dia. ”Orang Cina itu dididik untuk harus pandai bilang ’ya’, dan orang Arab dididik juga untuk harus pandai bilang ’tidak’.”
”Bagaimana itu?”
”Itu dibuktikan melalui cara mereka membaca kitab ’goed bericht’ dalam masing-masing huruf Cina dan Arab. Tulisan Cina itu tersusun dari atas ke bawah, jadi kalau orang Cina membaca ’goed bericht’, pasti kepalanya kelihatan bergoyang angguk-angguk atas-bawah, atas-bawah. Sedang tulisan Arab itu tersusun dari kanan ke kiri, jadi kalau orang Arab membaca ’goed bericht’, pasti kepalanya kelihatan bergoyang geleng-geleng kanan-kiri, kanan-kiri. Itu artinya, Cina bilang ’ya’, Arab bilang ’tidak’.”
Cara dia bercerita itu lucu, karena dia memperagakan gerakan kepalanya seperti badut Italia di pasar-malam Amsterdam.
Kemudian, setelah selesai memeriksa-meriksa, dia tarik kakiku, menutup kembali rok yang disingkapnya tadi.
”Bagus,” katanya, berjalan meninggalkan ranjang, dan duduk di kursi belakang meja. ”Saran saya, lebih baik malam ini Anda sudah menginap di sini, sebab barangkali nanti malam, atau paling lambat besok pagi, Anda melahirkan.”
”Benarkah?” kataku, senang, sambil berdiri dari ranjang, lantas mengambil Norman John, dan menggendongnya.
”Tentu,” kata Hoedt. ”Tapi kalau Anda mau pulang dulu, meninggalkan anak Anda itu di rumah bersama ayahnya, itu baik sekali.”
”Tidak,” kataku segera. ”Tidak usah. Biar anak saya ini tinggal bersama saya di sini. Toh, kalau tidak salah, ayahnya besok berangkat ke Aceh.”
”Wah, saya bisa membayangkan betapa Anda akan sangat repot menjalani hidup di Batavia.”
”Saya sudah terbiasa repot sebelum saya berada di Batavia. Rasanya hidup dengan kerepotan lebih baik ketimbang bengong dalam kesepian.”
”Tapi dengan dua orang anak yang masih kecil, Anda akan lebih celaka daripada hanya sekadar repot.”
”Memang. Tapi mudah-mudahan saya tidak keliru juga, bahwa keadaan celaka dalam hidup tidak permanen, sebab semuanya ini sementara.”
”Oh? Anda hebat. Berapa umur Anda?”
”21.”
”Hm, Anda 21, tapi berbicara seperti orang 61.”
”Apakah itu salah?”
”Tidak. Tentu tidak. Tapi, apa Anda mau mendengar saran saya?”
”Tentu saja.”
”Ini Batavia. Anda harus punya babu di sini.”
”Saya belum tahu di mana saya bisa mendapatkannya. Saya belum seminggu di sini.”
”Kalau begitu, nanti, setelah melahirkan, Anda harus menemui Tan Tiong Djien di Kramat Bunder.”
”Siapa dia?”
”Dia penyalur babu terkenal di Batavia. Anda bisa pilih babu yang Anda suka di tempat penampungannya. Dan, saran saya, jangan pilih babu yang muda. Sebab, yang muda-muda itu ’gevaarlijk’. Dalam keluguannya, yang nyaris mesti dibilang padan dengan kedunguan, babu-babu muda itu malah menarik perhatian dan selera lelaki-lelaki Barat. Agaknya sarjana-sarjana di Leiden sana perlu membikin seminar tentang: mengapa lelaki-lelaki Barat di Jawa gampang ereksi pada babu-babu.”
Aku langsung terdiam. Sekonyong pikiranku sesak, seperti dijajah prasangka. Aku mengumpat dalam hati, entah kepada siapa.
”Songong!”
Sebaliknya Hoedt ketawa tanpa mengetahui apa yang terjadi di kepalaku sekarang.
91) harafiahnya ’berita baik’, istilah awam untuk ’injil’
92) berbahaya

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/30/04424059/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar