Minggu, 27 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI (50)

AKU MATA HARI (50)
Sabtu, 26 Juni 2010 | 03:26 WIB
Remy Sylado
Riwayatnya, pelawan itu sangat karismatik, sehingga termasuk paman-pamannya yang juga sama-sama berkedudukan sebagai pangeran seperti dirinya, ikut berperang di bawah komandonya. Dengan cerita itu aku menyimpulkan pula, bahwa orang Jawa tulus menerima Belanda, jika Belanda baik, tapi gampang berubah kalau Belanda jahat, lalu gampang lagi melupakan kejahatan Belanda jika Belanda berhasil menjaga perdamaian, namun kisah pahlawan perangnya terus ditembangkan.
Dari Mbah Kung aku belajar tentang filsafat Jawa dalam makna aksara-aksaranya, yaitu istilah ”huruf Jawa jangan dipangku, kalau dipangku mati”. Maksudnya, manusia Jawa jangan dikasari, sebab kalau dikasari pasti melawan, sementara kalau dihalusi pasti mengalah.
Kini, dalam kedatanganku yang kedua ini, di malam yang sunyi kecuali bunyi di daun-daun pohon, sambil menunggu kantuk, istri Mbah Kung menembang macapat tentang ”sangkan paraning dumadi”, yaitu ajaran keberadaan manusia dari sejak awal mula roh sejati yang menghidupi tubuh insani menyangkut tanggungjawab bagaimana kearifan mesti dipelihara sampai akhir hayat. Puisi yang ditembangnya ini Ilir-Ilir:

Ha-nglir-ilir suh adhum mawangi
Na-ng ancas lampah prapat nggedhekke lawan kantha
Ca-k nyantoseng tyas bangsa tan kumbi
Ra nduwe pamrih, jan tebih ajrih, netepi uga
Ka-jawen kula lan sir kula agami
Da-t nuring piwulangnya
Ta murid sang guru kiye
Sa-ng pribadine tan seje
Wa-h guru muridah wadhe
La-h ya pribadi kocape
Pa-mulangane condhong ngamali
Dha-dhag sacatur sangsaraning sesami tan uwas
Ja-jag yogyaning tyas datan sisip
Ya ganjaran hayu karta haruming sasaminta
Nya-ta hakikat uripira dumadi
Ma-deg wong urip ika
Ga-rane kudu kadare
Ba-dal Allah datan kacek
Tha-k-thik becik sasamine
Nga-yu yuning jagat lahe.

Merasa bahwa tembangnya itu adalah suatu santikarma buat bayi di dalam rahimku, aku memegang tangannya, dan mengucapkan rasa syukur kepadanya.
Kataku kepada istri Mbah Kung, ”Aku ingin anakku ini dipanggil dengan sebutan pribumi.”
Mbah Kung yang menanggapi, katanya, ”Kalau anak itu laki, sebutan pribumi buat anak laki Belanda: Nyo, dan kalau anak itu lahir perempuan, sebutan pribumi buat anak perempuan Belanda: Non.”
Aku senang, mengangguk- angguk sambil melafal-lafal sendiri.
”Hm, mengesankan,” kataku. ”Nyo: anak laki, dan Non: anak perempuan.”
Istri Mbah Kung mengelus lagi perutku sambil berkata, ”Itu bagus. Moga-moga ini anak perempuan. Jadi sejodoh: Nyo dan Non.”
”Ya, ya,” kataku. ”Aku akan panggil dia: Non.”
”Tapi,” kata Mbah Kung ragu. ”Apa suami Mevrouw setuju kalau anak di rahim Nyonya itu nanti diberi nama pribumi?”
”Apa urusannya dia?” kataku senguk, geram. ”Saya yang menentukan jalan hidup saya. Termasuk memilih nama anak ini.”
”Tapi suami Nyonya itu tentara.”
”Memangnya kenapa kalau dia tentara?”
”Maaf, Nyonya,” kata Mbah Kung tak lancar. ”Menurut kakek buyut saya, sejak zaman Pangeran Diponegoro berperang di sekitar sini, dan ditangkap di Magelang, kami semua takut sama tentara Belanda. Tentara Belanda itu mengerikan.”
”Saya kan bukan tentara. Suami saya, yang sebentar lagi akan menjadi ’bekas suami’, yang tentara. Saya sipil.”
”Tapi Mevrouw kan orang Belanda.”
”Ah, orang Belanda kan manusia juga: terdiri dari darah dan daging.”
”Kami malah berpikir orang Belanda itu tidak terbuat dari tanah.”
Aku ketawa.
”Kenapa Mbah Kung bilang begitu?”
”Ya, Nyonya,” kata Mbah Kung, lugu, tapi juga sindir.

75) doa selamat
76) kependekan ’sinyo’, turun dari kata bahasa Portugis senhor dibaca: senyor, artinya ’tuan’
77) kependekan ’nona’, turun dari kata bahasa Portugis menina yang kemudian menjadi menona

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/26/0326284/aku.mata.hari.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar