Selasa, 22 Juni 2010

haa iki AKU MATA HARI 42

AKU MATA HARI
Jumat, 18 Juni 2010 | 03:40 WIB
Remy Sylado

”Ha-ha, kamu memang benar, tidak ada gunanya berbohong. Ya, aku hampir lupa itu. Tapi, orang yang mengerti bahwa tidak ada gunanya berbohong, toh melakukannya. Kenapa?”
Ruud menyalak. Otot-otot di lehernya keluar. Biji matanya pun seperti akan mencolot dari kelopaknya.
”Aku tidak bohooong,” serunya.
”O, ya, maaf, Ruud, aku telah membuatmu marah. Kalau saja kamu tahu, aku lebih marah dari kamu, pasti kamu harus berpikir untuk tidak berbohong. Siapapun bisa berbohong dengan cerdik, Ruud. Tapi percayalah, tidak ada kebohongan yang sempurna. Di dalam setiap kebohongan pasti ada celah yang bisa membuatnya cacat. Mungkin kamu tidak tahu ini. Celah cacat yang aku maksudkan adalah airmuka di wajah. Airmuka di wajah semua pembohong, bisa dikendalikan oleh otak, tapi tidak bisa ditipu oleh hati. Celakanya, Ruud, orang yang dibohongi kok punya indra keenam yang bisa mencium kebohongan pembohong.”
”Persetan. Pergilah ke neraka.”
”Ke neraka? O, ya, silakan. Kamu duluan saja yang pergi ke sana. Aku tidak ikut. Aku tidak tertarik. Aku masih ingin tinggal di dunia.”
Dia kehabisan huruf.
Dia keluar ke luar.
Masabodoh, aku tetap ngotot untuk nanti, pada akhir pekan di minggu ini, akan ikut ke Semarang.
22
Selain itu, aku berpikir, tidak apa-apa untuk sekali ini aku mengalah dulu. Nanti, sebentar lagi, kalau dia pergi, aku akan pergi juga, bertanya pada orang pintar.
Sesaat setelah Ruud pergi, aku ke kediaman opsir Van Donck, bertanya kepada istrinya Saar, tentang di mana tempat pertapa René, orang pintar yang aku maksudkan.
Dulu Ruud bertanya pada René ke mana pergi istrinya.
Kini aku akan bertanya pada René ke mana pergi suamiku.
Mudah-mudahan paranormal itu bisa menjawab pertanyaanku.
Dalam pikiranku, sebagaimana banyak orang Belanda di Indonesia di pengujung abad, menganggap bahwa kalau persoalan-persoalan rohani tidak bisa dijawab oleh sosok-sosok rohaniwan, antara pastor dan domine—yang selama ini memang sudah jauh api dari panggang pula dalam hidupku—maka lebih baik aku bertanya pada paranormal, mencamkan uraiannya tentang hidupku itu, menyangkut suamiku.
Kataku pada Saar, ”Aku ingin bertemu dengan paranormal Prancis di lereng gunung.”
”René du Bois?” jawab Saar dalam nada tanya.
”Ya,” sahutku. ”Aku ingin melihat yang tidak terlihat.”
”Dia melihat melalui kartu tarot.”
”Aku harap dia bisa membantu aku.”
”Banyak orang yang sudah ke sana.”
”Sekarang aku pun ingin ke sana.”
”Aku bisa antar, kalau kamu minta.”
”Tentu.”
Kami—Saar, Norman John, dan aku—ke sana dengan kereta kuda paling sederhana dan kecil, disebut dokar, dari bahasa Inggris waris zaman pemerintahan Inggris di Indonesia, dogcart, pedati kuda yang dikendalikan sais dengan ketentuan ”two persons seated back to back”.
Di rumah sang paranormal, kami disambut oleh seorang pembantu pribumi yang mempersilakan kami duduk di depan.
”Di dalam masih ada tamu,” katanya.
Tampaknya René tidak kesepian di lereng gunung ini. Walau dia tinggal di rumahnya ini ditemani pembantu pribumi tersebut, banyak tamu yang datang menemuinya, bertanya soal peruntungan dan nasib melalui kartu tarot.
Semua yang datang kepadanya adalah orang-orang yang— kalau kiranya boleh aku mengaku jujur dengan bercermin pada diriku sendiri—sudah putus hubungan rasa percaya dengan Tuhan, dan sebaliknya cenderung merasa lebih percaya pada hal-hal yang spiritisme dan okultisme.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/18/03400540/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar