Selasa, 22 Juni 2010

haa iki Pria Tua di Tengah Malam Pretoria

Pria Tua di Tengah Malam Pretoria
Jumat, 18 Juni 2010 | 11:10 WIB

Sesosok pria berdiri di salah satu sudut ruangan mixed zone Stadion Loftus Versfeld, Pretoria, seusai laga Afrika Selatan versus Uruguay, Rabu (16/6). Jaket tebal hijau membungkus tubuhnya, dengan penutup kepala yang hampir menutup wajahnya.
Pria itu terkaget ketika disapa namanya, ”Bora Milutinovic!” Kehadiran pria berusia 65 tahun di tengah kerumunan wartawan yang tidak mengenalinya ini tentu sebuah kejutan. ”Ya, tetapi yang paling mengejutkan adalah kalahnya Spanyol dari Swiss,” katanya kepada Kompas.
Bora adalah sosok pelatih ternama yang terkenal dengan curriculum vitae-nya sebagai pelatih lima negara berbeda di lima Piala Dunia. Dia melatih Meksiko (1986), Kosta Rika (1990), Amerika Serikat (1994), Nigeria (1998), dan China (2002).
Ia hanya kalah dari Carlos Alberto Parreira, Pelatih Afrika Selatan (Afsel) saat ini, yang enam kali hadir di Piala Dunia sebagai pelatih. Kecuali China yang pertama kali itu lolos ke Piala Dunia 2002, semua tim asuhan Bora lolos ke babak kedua. ”Uruguay jelas lebih baik dan mereka pantas menang malam ini,” lanjut Bora.
Apa yang Anda lakukan di sini? ”Saya bekerja untuk televisi Meksiko,” jawabnya. Bora memang beristrikan orang Meksiko dan saat ini tinggal di Mexico City.
Benarkah Bora sedang beralih profesi dari pelatih menjadi wartawan? Dari penelusuran pada data wartawan peliput di situs FIFA, tidak tercantum nama Velibor Milutinovic. Di dadanya juga tidak tergantung kartu identitas akreditasi, seperti umumnya wartawan atau ofisial tim.
Bora mungkin saja benar bekerja untuk televisi Meksiko. Yang pasti, ia tengah menggali informasi seputar perkembangan kekuatan terakhir Uruguay, tim yang akan dihadapi Meksiko pada laga terakhir Grup A di Rustenburg, 22 Juni mendatang.
Dalam hal menggali informasi tim-tim lawan, Bora termasuk salah satu jagonya. Saat menangani timnas China, menjelang lawan Indonesia pada kualifikasi Piala Dunia 2002, ia terbang langsung ke Jakarta dan menyelinap di antara kerumunan penonton di tribune barat Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk mengamati langsung permainan timnas Indonesia.
Sambil mengamati jalannya pertandingan, ia memegang handycam dan merekam permainan Merah Putih. ”Nomor 13 pemain paling berbahaya tim Anda,” kata Bora. Nomor 13 yang dimaksud saat itu adalah Budi Sudarsono.
Kini, hal serupa dilakukan Bora saat waktu memasuki tengah malam di Pretoria. Di tengah bincang-bincang itu, ia melontarkan komentarnya soal perjalanan sementara Piala Dunia 2010, yang telah menyelesaikan pertandingan pembuka delapan grup. ”Awalnya kurang begitu menarik, tetapi baru saja muncul kejutan dengan tumbangnya Spanyol,” papar Bora.
Hingga Rabu (16/6) malam sudah 17 laga tergelar di panggung Piala Dunia pertama di Benua Afrika ini. Beberapa kalangan menyebut, dengan sejumlah pengecualian, sejauh ini laga-laga kurang menarik. Beberapa tim lebih suka bermain aman untuk menghindari kekalahan.
”Ada beberapa tim yang bermain bagus, menghadirkan tontonan menarik, tetapi itu tidak banyak. Secara keseluruhan, termasuk dari segi penyelenggaraan, menurut saya, ini Piala Dunia terburuk sejak 1986 di Meksiko,” ujar Rob Hughes, kolumnis sepak bola International Herald Tribune dan New York Times.
Setelah dibuka laga Afsel versus Meksiko lewat permainan menghibur dan diawali gol spektakuler Siphiwe Tshabalala, hingga laga ke-16 turnamen ini termasuk miskin gol. Hingga 16 laga itu, baru tercatat 25 gol. Artinya, rata-rata hanya tercipta 1,56 gol per pertandingan. Angka ini menyedihkan jika dibandingkan catatan rata-rata gol terendah sepanjang sejarah Piala Dunia, yakni 2,21 gol per pertandingan pada Piala Dunia 1990 Italia.
Ada yang menyebut, faktor ketinggian, cuaca dingin, masalah bola ”Jabulani”, dan vuvuzela ikut berpengaruh. Piala Dunia kali ini digelar di beberapa kota yang memiliki ketinggian, berlangsung pada musim dingin—ini Piala Dunia musim dingin pertama setelah tahun 1978 di Argentina. Bola Jabulani kerap merepotkan pemain, begitu juga vuvuzela yang dituding memacetkan komunikasi antarpemain.
Namun, seperti kata Pelatih Afsel Carlos Alberto Parreira, terlalu dini memberi penilaian Piala Dunia paling tidak menghibur. Masih banyak laga-laga yang menyimpan banyak kejutan. Itu pula yang diungkapkan Bora sebelum menyelinap di kerumunan wartawan saat Kota Pretoria menjelang tengah malam itu.
(Mh Samsul Hadi dari Pretoria, Afrika Selatan)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/18/11101961/pria.tua.di.tengah.malam.pretoria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar