Rabu, 23 Juni 2010

haa iki Melihat Indonesia dari Sepeda


KOMPAS/AHMAD ARIF
Ribuan sepeda ontel aneka merek dikendarai "den baguse" keliling Kota Malang, Jawa Timur, dalam Festival Malang Kembali, akhir bulan lalu. Selain maraknya penggila ontel, fenomena gerakan bersepeda ke tempat kerja adalah contoh meluasnya gerakan bersepeda.

Melihat Indonesia dari Sepeda
Rabu, 23 Juni 2010 | 02:58 WIB

Kring kring gumaguse, numpak pit kring den baguse
Mentas saka toko, merek simplex nganggo berko
Simplex nganggo berko, simplex nganggo berko
Aja menga-mengo, aja menga-mengo
Yen nabrak angkring saoto
(Kring kring gagahnya, naik sepeda Den Baguse
Baru keluar dari toko, merek Simplex memakai berko
Simplex memakai berko, simplex memakai berko
Jangan tolah-toleh, jangan tolah-toleh
Nanti nabrak gerobak soto)

Itulah lagu rakyat ketika dulu sepeda menjadi simbol status sosial priayi. Alangkah gagahnya naik sepeda: Simplex dengan lampu berko.
Minggu pagi akhir bulan lalu, Simplex dengan cap berko itu menemukan kembali pamornya. Ribuan ontel merek Simplex, Gazelle, Fongers, Batavus, Raleigh, dan sejumlah merek lainnya diarak ”den baguse” keliling kota dalam Festival Malang Kembali.
Pawai sepeda tua ini diikuti penggila sepeda dari beberapa kota, yang mendandani ontel masing-masing dengan pernak-pernik, mulai dari lampu karbit hingga bel yang bunyinya seperti lenguhan kerbau. Makin tua sepedanya, makin asli onderdilnya, makin bangga penunggangnya.
Kebanyakan ”den baguse” bersepeda itu kaum sepuh. Namun, ada juga anak muda, bahkan ada pasangan yang membawa anak. Mereka berkostum aneka rupa, mengingatkan pada nuansa masa lalu. Ada yang berkostum warok, surjan dan belangkon, noni Belanda, serta pasukan PETA bentukan Jepang lengkap dengan samurai.
Kenangan masa lalu memang penyemangat utama mereka. Obsesi ini bagi sebagian orang bahkan menjadi semacam candu yang mendorong untuk memburu ontel hingga ke pelosok desa, padahal hanya untuk ditunggangi dalam pawai atau bahkan hanya untuk dielus-elus. Seorang kolektor bisa memiliki ratusan ontel, seperti Basuki dari Kediri, Jawa Timur, yang mengoleksi lebih dari 500 ontel.
Paguyuban sepeda ontel pun bermunculan di setiap kota di Jawa, juga di kota di luar Jawa, seperti Palembang, Padang, Banjarmasin, dan Balikpapan. Anggotanya mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, polisi, tentara, pengusaha, guru, hingga mahasiswa. Dan, hampir setiap bulan mereka berpesta dan berpawai dengan sepeda tua.
Maraknya penggila ontel hanyalah satu warna dari munculnya gerakan bersepeda. Dalam arus lain, penganut gerakan sepeda untuk bekerja (baca>bike to work) juga mewabah. Para penggowes yang rata-rata dari kalangan ekonomi mapan ini rela berpanas-panas demi bersepeda ke tempat kerja. Sekalipun mereka mesti bersaing dengan kendaraan bermotor yang ugal-ugalan karena tiadanya dukungan jalur sepeda.
Di beberapa kota, tuntutan pada lalu lintas tanpa kendaraan bermotor telah mendorong pengharaman kendaraan bermotor melintas pada satu hari tertentu di ruas jalan tertentu (baca>car free day). Fenomena ini bisa dibaca sebagai kerinduan warga pada lalu lintas dan ruang kota ramah lingkungan.
Kerinduan yang sama menggerakkan puluhan orang kaya dari Jakarta bersepeda ke lereng Gunung Merapi, Yogyakarta, pada pagi itu. Mereka khusus ke Yogyakarta dan meninggalkan hobi lama, seperti golf dan bermotor gede, demi bersepeda.
Di Bandung, jalur menanjak ”Warban” disesaki ribuan pesepeda tiap liburan. Demikian halnya di Solo, jalur ”Waduk Cengklik” menjadi idola pesepeda. Di kota-kota lain pun memiliki jalur andalan masing-masing. Tak hanya warga kota setempat, banyak pesepeda dari kota lain berbondong mencoba jalur-jalur itu. Bersepeda telah menjadi petualangan.

Bandul yang bergerak

Sepeda memang bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga penanda budaya yang bergerak. Pada masa awal kedatangannya di Nusantara, sepeda menjadi medium ”modernisasi” (baca>pembaratan). Sepeda waktu itu diidentikkan dengan tunggangan para priayi dan kalangan yang terpandang secara ekonomi.
Seperti digambarkan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, 1996, sepeda atau kereta angin—istilahnya waktu itu—adalah salah satu simbol kemajuan (baca>pembaratan), selain juga pakaian. Denys mengacu pada sosok Haji Muhammad, pengusaha kopra dari Banten yang pada 1910 mencoba mengelola perusahaannya ”secara Eropa”.
”Maka, Haji Muhammad mengganti pakaiannya secara pakaian orang Barat, yaitu berpantalon, bersepatu, berjas, dan berkopiah Turki. Tidak pula lama antaranya ia membeli sebuah kereta angin sehingga ia dapat mondar-mandir kian-ke mari dengan cepat dan mengurangi belanja,” tulis Lombard, mengutip naskah Kenang-Kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, 1936.
Hingga tahun 1970-an, sepeda masih jadi primadona. ”Misalnya di Yogyakarta, waktu itu sangat ramai pesepeda, mulai dari mahasiwa, dosen, hingga buruh,” kata Hendrie Adji Kusworo, peneliti Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada.
Kontur lahan yang datar dan pepohonan yang dulu rimbun menjadi pendukung tingginya pesepeda di kota pendidikan ini.
Namun, motorisasi moda transportasi nyaris menamatkan sepeda, setidaknya membuat status sosial sepeda terpuruk ke tingkat terbawah. Kondisi ini rupanya juga disebabkan oleh kekeliruan cara pikir pemerintah. Dimulai dari peminggiran infrastruktur sepeda, seperti tempat parkir dan jalur khusus dari ruang kota-kota kita.
Berbeda dengan negara-negara Eropa yang tetap menghargai sepeda, penguasa negeri kita rupanya keliru menafsirkan kemajuan dengan meminggirkan sepeda dari jalur transportasi. Jangankan pembangunan jalur sepeda baru, jalur sepeda yang telah ada sebelumnya justru dihilangkan, seperti terjadi di Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Di sisi lain, kemudahan kredit sepeda motor telah merangsek hingga ke sudut-sudut kampung dan desa-desa di sentral pertanian. Di tengah mandeknya mekanisasi pertanian di desa dan industrialisasi di kampung kota, kendaraan bermotor adalah impian warga miskin.
Pasalnya, di desa-desa, sepeda ontel identik dengan keringat yang bercucuran, dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Derita yang mewujud dalam sosok Sugianto (55), pencari kayu bakar dari Ngawi, Jawa Timur.
Ketika sebagian besar temannya beralih menggunakan sepeda motor, Sugianto terpaksa bersetia pada sepeda tuanya untuk mengangkut beban kayu bakar. Tiap hari, Sugianto mesti mengayuh sepeda hingga puluhan kilometer, dengan beban kayu bakar lebih dari 1 kuintal. ”Jika ada uang, tentu inginnya naik sepeda motor,” kata Sugianto. Masih banyak sosok lain seperti Sugianto yang terpaksa bersepeda untuk hidup.
Sepeda adalah saksi keterbelahan kehidupan masyarakat kita. Antara klangenan masa lalu, tuntutan lalu lintas yang lebih ramah lingkungan, dan rakyat miskin yang terpaksa masih bersepeda untuk bekerja.
Inilah sepenggal potret perkembangan sosial budaya Nusantara, yaitu tentang sepeda dan penggunanya, yang kami rekam untuk mengiringi perjalanan pesepeda menyusur jalan mulai dari Surabaya, Malang, Trenggalek, Pacitan, Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Bandung, Bogor, hingga Jakarta dalam rangka ulang tahun ke-45 Kompas.(Ahmad Arif/Amir Sodikin)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/23/02583783/melihat.indonesia.dari.sepeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar